Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Realisasi penggunaan electronic trading platform (ETP) di pasar sekunder obligasi, molor dari rencana semula. Presiden Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ignatius Girendroheru menyebut, ETP akan meluncur pada kuartal pertama tahun depan.
Semula, target peluncuran ETP di Desember 2015. "Ada penundaan, karena masalah kesiapan. Tapi, saat ini, ETP sudah siap, hanya tinggal penetapan peluncuran," ujar Ignatius, Rabu (11/11).
ETP merupakan trading platform untuk perdagangan surat utang negara dan korporasi. Nantinya, seluruh transaksi obligasi akan dikumpulkan dalam satu platform, sehingga data perdagangan dapat dimonitor setiap hari.
Sistem perdagangan akan menggunakan sistem di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sementara, IBPA menyediakan informasi harga pasar wajar sebagai referensi perdagangan bagi pelaku pasar. Menurut Ignatius, dengan ETP, perdagangan obligasi menjadi lebih mudah dipantau dan meningkatkan transparansi.
Semula, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berniat memberlakukan transaksi obligasi layaknya transaksi saham melalui platform ETP. Namun, Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal IIA OJK Fakhri Hilmi bilang, sistem tersebut sulit diterapkan pada instrumen obligasi.
Sebab, profil perdagangan obligasi berbeda dengan saham. Penghitungan transaksi obligasi lebih kompleks, karena penetapan harga tidak final. Misalnya, dalam suatu transaksi akan memperhitungkan pembagian kupon yang telah dibayar atau yang masih tersisa hingga jatuh tempo.
Selain itu, penghitungan pajak obligasi juga belum mencakup pajak penghasilan (PPh) final. Sehingga usai transaksi, masih ada perhitungan lain soal pembagian kupon dan pajak. "Kondisi ini berbeda dengan transaksi saham yang simpel, sekali transaksi langsung tuntas," jelas Fakhri.
Menurut dia, nantinya perdagangan obligasi tetap melalui over the counter (OTC) seperti sekarang. Namun data transaksi, seperti harga disetor ke ETP. Analis Millenium Capital Management Desmon Silitonga menilai, platform ETP bisa menjadikan transaksi obligasi lebih teratur.
Sehingga bisa menjadi referensi akurat terutama mengenai harga. "Sebenarnya dampak penggunaan platform ini tidak terlalu signifikan pada nilai transaksi, tapi perdagangan akan lebih transparan," tuturnya, Kamis (12/12).
Kata Desmon, otoritas sebelumnya juga pernah menjajal transaksi perdagangan obligasi seperti saham. Namun, kala itu transaksi justru sepi, sehingga kembali ke OTC. "Investor lebih menyukai model OTC," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News