Reporter: Riska Rahman | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Meningkatnya harga ekspor baja membuat sejumlah emiten di sektor ini optimistis bisa mencapai target pendapatan tahun ini. Sejak awal tahun hingga Juli lalu, harga ekspor produk baja telah meningkat 43,3% menjadi US$ 686 per ton.
Dengan kenaikan harga ekspor, penjualan produk emiten baja juga turut membaik. PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) optimistis bisa mengejar target pendapatan antara Rp 1,2 triliunRp 1,3 triliun tahun ini.
Sampai Juli 2017 lalu, BAJA sudah berhasil meraup pendapatan senilai hampir Rp 700 miliar. "Angka ini sudah hampir mencapai target pendapatan kami tahun ini," ujar Direktur Utama BAJA Handaja Susanto kepada KONTAN, Senin (18/9).
Sayangnya, Handaja tak yakin kenaikan harga ekspor produk baja tersebut akan memberikan dampak positif terhadap bottom line perusahaan tahun ini. Pasalnya, kenaikan harga jual produk baja kerap diikuti oleh kenaikan harga bahan baku.
"Bahan baku yang kami beli dari PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga ikut naik. Selain itu, harga zinc yang kami gunakan untuk keperluan produksi sama-sama meningkat," papar Handaja. Sebagai catatan, di 2016 lalu, BAJA membukukan laba sebesar Rp 34,4 miliar. Lalu, pendapatannya mencapai Rp 978,84 miliar.
Sementara itu, PT Gunawan Dian Jaya Steel Tbk (GDST) menargetkan pertumbuhan pendapatan dan laba bisa naik hingga 10% dari tahun 2016. Direktur Independen GDST Saiful Fuad mengatakan, hingga semester I-2017 lalu, pendapatan GDST sudah mencapai 50% dari target.
Pada periode itu, GDST mencatat penjualan Rp 605,06 miliar. Angka ini naik 45,97% secara year on year (yoy). Namun, laba bersih GDST hanya sebesar Rp 9,05 miliar. Angka tersebut turun 71,10% dari tahun sebelumnya.
Untuk mencapai target kinerja, GDST akan menggenjot produksi untuk penjualan domestik. Apalagi, saat ini, proyek infrastruktur masih ramai. "Saat ini pangsa pasar domestik kami mencapai 90% dari total penjualan," ujar Saiful.
Prospek saham
Sayangnya, sentimen positif dari kenaikan harga baja belum sejalan dengan pergerakan harga saham sektor ini. Analis First Asia Capital David Sutyanto menilai, seringkali, sentimen positif yang menerpa sektor baja tak selalu membuat saham-saham di sektor ini jadi turut melambung. Ia justru melihat saham-saham seperti GDST, BAJA dan KRAS justru sudah tertekan sejak awal tahun.
Saham BAJA misalnya. Hingga Selasa (19/9), saham ini sudah tertekan 38,53% year to date (ytd). Nasib KRAS dan GDST pun tak beda jauh. Kedua saham ini terus meluncur turun sejak awal tahun. Bahkan, KRAS sempat menyentuh level terendah sebesar Rp 500 per saham di tahun ini.
Selain itu, kondisi bisnis baja yang terus diserang produk impor pun masih menekan kinerja emiten ini. "Sekarang banyak konsumen baja lebih memilih membeli baja impor karena harganya yang lebih murah. Ini membuat pangsa pasar emiten baja agak tergerus," papar David.
Karena itulah, David belum merekomendasikan saham-saham emiten baja untuk investasi jangka panjang. Tapi, dalam jangka pendek, David memberi rekomendasi buy on weakness untuk saham GDST, BAJA dan KRAS. Target harga saham GDST ialah Rp 115 per saham. Sementara untuk saham BAJA, David memberi target harga Rp 230. Lalu, untuk saham KRAS, ia memasang target harga di level Rp 600 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News