Reporter: Dina Farisah | Editor: Dikky Setiawan
CISARUA. Pelaku trading valuta asing atau yang lebih dikenal dengan forex meminta agar pemerintah melakukan pungutan pajak atas transaksi forex. Ini positif bagi kedua belah pihak.
Gagasan ini disampaikan Rizki Bastari, Head of Marketing Executive and Investor Relation PT Askap Futures.
Rizki yang juga pelaku trading forex mengatakan, bahwa industri forex juga perlu dikenakan pajak seperti halnya transaksi saham.
Keresahan ini sudah lama dirasakan pelaku trading forex sejak tahun 1980. Pelaku trading selalu tidak nyaman karena kerap dicurigai pihak perbankan.
"Tujuannya agar pelaku trading forex tidak dicurigai apabila ada aliran dana berjumlah besar masuk ke rekeningnya," ungkap Rizki.
Menurutnya, pengenaan pajak ini akan menguntungkan pelaku trading forex dan juga pemerintah. Pelaku trading forex tidak perlu lagi menjelaskan aliran dana kepada perbankan.
Sementara negara juga mendapat sumber penerimaan pajak baru. Rizki dan komunitas trading forex mengaku pernah membahas hal ini dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Kala itu pemerintah belum bisa melihat kejelasan transaksi, apakah forex ini tergolong market maker atau seperti apa. Sampai saat ini, besaran pajak penghasilan (PPh) tersebut tidak difinalisasi.
Pihaknya meminta agar Bappebti, PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) mendiskusikan hal ini untuk menetapkan besaran pajak. Adapun usulan pengenaan dari komunitas trading fores sebesar 10% dari dana yang dijaminkan.
"Selama ini uang yang kami peroleh dari trading forex, kami masukan ke saham. Disini baru dikenakan pajak, sehingga bisa dijelaskan kepada bank," tuturnya.
Gema Goeyardi, Presiden Direktur PT Astronacci International juga menyuarakan hal serupa. Gema yang telah berkecimpung belasan tahun di trading forex ini mengusulkan pungutan pajak atas trading forex disamaratakan dengan transaksi saham di Bursa Efek Indonesia yaitu pajak PPh final sebesar 10% setiap transaksi.
"Saya rasa pajak final 10% layak dipertimbangkan," kata Gema.
Dihubungi terpisah, Dirjen Pajak Fuad Rahmany menanggapi usulan ini dengan positif. Menurutnya, usulan tersebut perlu dipertimbangkan dari sisi efisiensi dan efektifitas pengenaan pajaknya.
"Ide tersebut perlu dikaji dengan segera," ujar Fuad kepada KONTAN, Minggu (2/3).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News