kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peluang dan risiko pasar obligasi pasca rencana tapering off The Fed


Jumat, 12 November 2021 / 11:12 WIB
Peluang dan risiko pasar obligasi pasca rencana tapering off The Fed
ILUSTRASI. Pasar obligasi dalam negeri pasca rencana tapering The Fed


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah tapering off yang dilakukan Federal Reserve (The Fed) direspon optimistis oleh pelaku pasar di Indonesia.

Melihat hal tersebut, Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) mengajak para pelaku pasar untuk mengalihkan perhatiannya dari isu tapering off. Setelah sebelumnya sentimen pasar selalu fokus terhadap isu tersebut.

Kepala Ekonom Bahana TCW Budi Hikmat mengatakan, sesuai ekspektasi, respon positif pasar terhadap kebijakan The Fed, menjadikan kebijakan tersebut tantrum-less taper. Karena itu, kini waktunya perhatian pasar menuju arah baru perekonomian pasca pandemi dan kebijakan lanjutan The Fed.

"Pemetaan risiko dan opportunity apa yang akan muncul di tahun depan haruslah menjadi perhatian pasar obligasi saat ini. Setidaknya kami masih optimistis, hingga akhir tahun kondisi perekonomian dan pasar obligasi akan tetap positif," kata Budi dalam keterangan tertulis, Jumat (12/11).

Baca Juga: Bank Permata turunkan bunga kredit ritel dan korporasi, ini besarannya

Terkait dengan opportunity, ia melihat SBN kini hanya bisa didapat dari secondary market setelah pemerintah menghentikan penerbitan SBN hingga akhir tahun.

Padahal dari sisi demand, permintaan terhadap government bonds masih ada, sehingga hal ini dapat menjadi katalis positif setidaknya hingga akhir tahun 2021.

Meski sejak awal tahun, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, mencatat jumlah kepemilikan asing di SBN sebesar Rp 934,41 triliun hingga 3 November lalu atau telah terjadi outflow sebesar Rp 39,5 triliun secara year to date.

Selain faktor supply yang menjadi katalis utama yang dapat membuat pasar obligasi dalam negeri masih atraktif hingga akhir tahun, di sisi demand akan didorong oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Tren excess liquidity masih terjadi, meski kredit perbankan menunjukkan pertumbuhan, namun pertumbuhan DPK lebih tinggi.

“Di pasar obligasi nasional, investor domestik memegang kendali hal ini terlihat saat investor asing belum kembali masuk ke pasar, tapi pasar obligasi kita menunjukkan penguatan (rally) dan yield SBN kita masih tetap kuat di angka 6,0. Merujuk pada data Bahana TCW, pada kepemilikan obligasi pemerintah, investor asing hanya menguasai 20,91% sementara investor domestik sebesar 79,09%,” imbuh Budi.

Baca Juga: Modal asing diprediksi terus mengalir ke BEI sampai akhir tahun 2021

Kepemilikan domestik atas obligasi pemerintah juga diperkuat oleh intervensi Bank Indonesia (BI) yang berkomitmen akan membeli SBN sebanyak Rp 200 triliun sepanjang tahun ini dan Rp 240 triliun untuk tahun depan dan dapat dipastikan kepemilikan BI akan naik.

Perbankan juga masih akan memiliki kelebihan likuiditas sampai dengan pertengahan tahun depan, maka seharusnya suport dari perbankan terhadap SBN masih sangat besar.

Namun, di tengah optimisme tersebut faktor risiko itu tentunya masih ada. Risiko yang perlu diperhatikan pertama adalah inflasi domestik. Meski saat ini tingkat inflasi sangat rendah yakni 1,6%, tapi pada kenyataannya inflasi di tingkat produsen perlahan mulai naik tapi belum dirasakan di tingkat konsumen.

Faktor risiko kedua adalah dari sisi tren imbal hasil surat berharga negara global yang cenderung naik. Meski, pasar SBN Indonesia diprediksi tidak akan mengikuti tren kenaikan tersebut,mengingat di dalam negeri pasar SBN memiliki isu tersendiri.

“Pasar SBN kita merupakan salah satu dari sedikit negara yang masih merasakan rally dalam enam bulan terakhir dibanding dengan negara berkembang lainnya yang harus mengalami koreksi. Yield SBN Indonesia masih sangat stabil di bawah angka 6,01 sementara negara berkembang lainnya harus mengalami kenaikan yield karena tekanan dari tapering, inflasi dan kenaikan suku bunga,” tutup Budi.

Selanjutnya: Laba Aneka Tambang (ANTM) melesat 104% jadi Rp 1,71 triliun per kuartal ketiga 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×