Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memprediksi, pasar obligasi berpotensi naik cukup kuat ke depannya. Hal ini didukung ekspektasi penurunan suku bunga acuan oleh para bank sentral utama dunia sejalan dengan level inflasi yang sudah turun.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula memperkirakan, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sekali lagi, yakni pada September 2023. Setelah itu, The Fed akan mempertahankan suku bunganya untuk kemudian menurunkannya pada semester I tahun 2024 atau paling lama kuartal IV-2024.
Potensi penguatan pada pasar obligasi juga didukung oleh berkurangnya suplai obligasi dari pemerintah Indonesia. Sebagaimana diketahui, kebutuhan pembiayaan negara melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tahun 2023 menjadi lebih rendah.
Baca Juga: Manulife Indonesia dan Bank DBS Indonesia Luncurkan Produk untuk Kalangan Atas
Hal ini terjadi berkat kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per semester I tahun 2023 yang masih surplus Rp 152,3 triliun atau 0,71% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi ini memberikan keyakinan bahwa defisit tahun ini bisa lebih rendah dari proyeksi awal.
Di sisi lain, permintaan terhadap obligasi masih sangat tinggi, terutama dari investor lokal.
"Pertumbuhan kredit masih single digit. Perbankan tetap beli obligasi, begitu juga dengan perusahaan asuransi dan dana pensiun terus masuk karena mencari yield yang menarik," tutur Ezra dalam acara Market Update MAMI secara online, Selasa (15/8).
Lebih lanjut, aliran dana asing ke pasar obligasi juga cukup positif selama 2023, terutama dalam dua bulan terakhir. Menurut Ezra, investor asing sangat menyukai pasar Indonesia karena mempunyai disiplin fiskal dan kondisi makroekonomi yang solid.
Untuk mendapatkan return yang lebih baik dari benchmark pasar obligasi, MAMI menjalankan active manage reksadana pendapatan tetapnya. Ezra menyampaikan, saat pasar obligasi positif, MAMI menambah durasi obligasi dalam portofolionya sampai 1,5 tahun di atas benchmark.
Saat ini, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun kini berada di kisaran 6,3%-6,4%. Ezra memprediksi, yield obligasi tersebut potensial turun lagi hingga ke kisaran 6%-6,25% di akhir tahun 2023.
Hal ini membuat MAMI lebih agresif lagi memposisikan portofolio di dalamnya.
"Saat pasar pulih, investor kami akan mendapatkan keuntungan dari capital gain yang menarik, ditambah kupon yang secara harian terus bertambah," ucap Ezra.
Untuk memperoleh return yang optimal, MAMI juga tidak hanya berfokus pada obligasi tenor 10 tahun. MAMI turut mencermati tenor-tenor lain yang lebih pendek yang dapat memberikan potensi imbal hasil yang menarik.
Chief Economist & Investment Strategis MAMI Katarina Setiawan menambahkan, negara-negara Asia, termasuk Indonesia mempunyai ruang yang lebih besar untuk memangkas suku bunga acuannya. Pasalnya, tingkat inflasi di negara-negara Asia sudah turun banyak.
Namun, Bank Indonesia (BI) tidak dapat menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat sebelum The Fed berhenti menaikkannya Fed Fund Rate (FFR).
"Alasannya, selisih antara suku bunga BI dan FFR sudah sangat kecil. Kalau BI menurunkannya, maka dikhawatirkan rupiah bakal melemah karena dianggap tidak terlalu menarik," kata Katarina.
Baca Juga: Return Unitlink Tertinggi Bulan Juli 2023 Didominasi Unitlink Saham
Di samping itu, neraca perdagangan Indonesia memang naik pesat, tetap cadangan devisa belum naik signifikan. Penyebabnya, bayak eksportir yang menanamkan dananya di luar negeri karena dianggap memberikan return yang lebih menarik.
Oleh sebab itu, Katarina melihat, berlakunya revisi peraturan mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan memberikan efek positif pada cadangan devisa Indonesia. Eksportir dengan jumlah ekspor minimum US$ 250 ribu wajib menanamkan DHE di dalam negeri setidaknya selama tiga bulan.
Hal ini berpotensi menambah likuiditas USD di dalam negeri sebesar US$ 9 miliar-US$ 27 miliar. Kondisi ini akan sangat membantu likuiditas dolar dan menjaga nilai tukar rupiah yang pada akhirnya akan menarik minat investor untuk menanamkan dananya di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News