Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rencana Bank Indonesia (BI) memaksimalkan penggunaan surat berharga negara (SBN) sebagai instrumen moneter menggantikan sertifikat Bank Indonesia (SBI) bisa memberikan dampak positif ke pasar obligasi. Langkah tersebut dapat meredam tekanan saat asing melepas kepemilikannya di SBN domestik.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 21 November 2016 menunjukkan, BI menggenggam SBN dalam rupiah sebesar Rp 155,96 triliun atau 8,81% dari total SBN yang dapat diperdagangkan.
Dari angka tersebut, total SBN yang digunakan dalam operasi moneter Rp 72,50 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan bulan lalu. Pada 31 Oktober 2016, BI memiliki Rp 149,37 triliun di pasar SBN dan yang dipergunakan sebagai instrumen moneter hanya sebesar Rp 46,93 triliun.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, peralihan dari SBI ke SBN dilakukan untuk optimalisasi operasi moneter serta memudahkan likuiditas. Ketika BI ingin menyerap dana, maka BI bisa menjual SBN yang dimilikinya ke pasar sekunder, begitu pula sebaliknya.
"Negara-negara lain juga tidak memakai sertifikat bank sentral, tetapi menggunakan instrumen treasury bond seperti SBN," kata Tirta pada KONTAN, Kamis (24/11).
Head of Debt Research Danareksa Sekuritas Yudistira Slamet menilai SBI memang kurang tepat bila dijadikan instrumen moneter. Menurutnya, tidak semua pihak memiliki akses untuk membeli SBI. "Instrumen moneter itu harus bisa dijangkau oleh siapapun," ucap dia.
Meredam tekanan asing Dengan membesarnya porsi SBN yang dimiliki BI, likuiditas di pasar SBN akan meningkat, dan kemudian pertukaran di tingkat portofolio antara obligasi pemerintah dan korporasi menjadi lebih mudah. "Selama ini sulit mencari SBN di pasar sekunder untuk pengganti obligasi korporasi," kata Yudistira.
Selain itu, volatilitas harga akan sedikit tertahan. Maklum saat ini porsi kepemilikan asing di SBN domestik sangat besar, sehingga sangat rentan terhadap pergerakan kurs.
Berdasarkan data DJPPR, per 21 November 2016 jumlah SBN yang dimiliki asing sebanyak Rp 658,73 triliun atau 37,20% dari keseluruhan SBN yang dapat diperdagangkan.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro melihat langkah BI memaksimalkan pengguna SBN untuk operasi moneter dapat membantu pasar domestik. Dengan beralihnya instrumen moneter ke SBN, maka porsi investor lokal meningkat. Hal tersebut dapat membantu mengurangi tekanan di pasar SBN. Namun dia melihat kebijakan ini harusnya memperhatikan kondisi likuiditas.
"Apabila kebijakan ini membuat likuiditas di pasar SBN terlalu berlebihan, maka akan membuat harga terkoreksi," kata Nicodimus.
Senada, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menambahkan, saat asing banyak menarik dananya dari pasar surat utang domestik akibat sentimen global yang tak kunjung reda.
Dus, langkah yang dilakukan BI sangat positif. Handy bilang, ketika asing mencatatkan sell off yang cukup besar, maka yield surat utang negara berpotensi naik, tapi dengan membesarnya porsi kepemilikan BI di SBN, kenaikan yield tertahan.
Sampai akhir 2016 sendiri, Yudistira memprediksi yield FR0056 dengan tenor 10 tahun berpotensi menurun ke 7,5%–7,6%. "Namun, semua ini tergantung stabilitas kurs rupiah. Jika stabil, yield masih bisa turun lagi," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News