Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah penawaran yang masuk pada lelang Surat Utang Negara (SUN) Selasa (1/3) mengalami penyusutan. Direktorat Jenderal Pembiayaan Pengelolaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, jumlah penawaran yang masuk sebesar Rp 61,52 triliun.
JIka dibandingkan dengan lelang SUN sebelumnya pada 15 Februari 2022, saat itu jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 76,77 triliun.
Direktur SUN DJPPR Deni Ridwan mengatakan, perolehan tersebut terbilang masih cukup solid dengan bid to cover ratio yang sebesar 3,24 kali. Apalagi jika mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang penuh dengan ketidakpastian.
“Kondisi pasar hari ini diwarnai ketidakpastian pasar keuangan global akibat situasi geopolitik di Eropa atas invasi Rusia ke Ukraina yang telah memasuki hari kelima. Pelaku pasar juga mengamati dampak sanksi ekonomi dan keuangan Rusia terhadap ekonomi global,” kata Deni dalam keterangan tertulis, Selasa (1/3).
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengungkapkan, hasil tersebut sudah cukup baik mengingat porsi investor asing yang sangat minim karena sedang hati-hati dalam mengambil keputusan di tengah situasi saat ini. Menurutnya, situasi saat ini sangat memungkikan terjadinya pergeseran yield secara lebar, apalagi perang juga baru mulai.
Baca Juga: Lelang SUN, 1 Maret: Penawaran Masuk Rp 61,52 Triliun, Diserap Rp 19 Triliun
Adapun, partisipasi investor asing pada lelang hari ini mencapai Rp 4,37 triliun atau 7,10% dari total incoming bids.
Menurut Ramdhan, investor domestik punya peranan penting dalam menjaga kestabilan pasar SBN belakangan ini. Tercermin dari yield SBN acuan 10 tahun yang relatif bergerak stabil walau ada kecenderungan melemah.
Dari jumlah penawaran masuk tersebut, pemerintah memutuskan hanya menyerap Rp 19 triliun atau di bawah target indikatif yang sebesar Rp 23 triliun-Rp 34,5 triliun.
Ramdhan menjelaskan, penyebab pemerintah menyerap di bawah target dikarenakan dengan ketidakpastian meningkat, alhasil ekspektasi market terhadap yield yang diminta ikut naik. Dengan permintaan yield banyak yang relatif tinggi, akhirnya pemerintah hanya memenangkan yang sesuai dengan secondary market.
“Ini sebagai upaya pemerintah menjaga keseimbangan antara primary dan secondary market, sekaligus sebagai bentuk bargaining pemerintah,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News