kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.950   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Otoritas harus berani coret emiten bermasalah


Kamis, 19 Juli 2012 / 06:06 WIB
Otoritas harus berani coret emiten bermasalah
ILUSTRASI. Amartha gandeng BPR Nusumma Jawa Timur salurkan modal usaha hingga Rp 12 miliar.


Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sandy Baskoro

JAKARTA. Tidak meratanya likuiditas setiap saham memang menjadi masalah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Maklum, jumlah saham yang tak likuid cukup besar yaitu sekitar 80% dari total saham di BEI.

Saham tak likuid, misalnya, karena prospek dan risiko usahanya kurang menarik. "Kita tak bisa berharap prospek maupun kinerja setiap emiten merata," ungkap pengajar Prasetiya Mulya Business School, Lukas Setia Atmaja, Kamis (18/7). Menurut dia, dunia pasar modal juga mengenal prinsip distribusi normal sehingga emiten dan saham yang bagus atau buruk selalu ada dengan jumlah terbatas.

Tapi banyak juga saham yang harganya terus jatuh dari waktu ke waktu. Pada saat IPO, harga saham bisa saja ribuan atau puluhan ribu rupiah. Di waktu selanjutnya, harga saham itu justru jatuh hingga masuk kategori saham gocap alias Rp 50 per saham. Lukas menilai, kondisi itu banyak disebabkan buruknya kinerja keuangan emiten. Ini bisa terjadi karena prospek industri maupun internal emiten dari awal memang kurang bagus.

Otoritas pasar modal, baik BEI maupun Bapepam-LK, semestinya selektif menyeleksi calon emiten. Jangan sampai pertumbuhan kuantitas tak diikuti kualitas emiten di BEI.

Kemudian, saham tak likuid karena porsi kepemilikan publik sedikit. Ambil contoh HMSP yang 98% sahamnya dikuasai Philip Morris. Investor publik susah meraih untung, jika porsi yang diperdagangkan terlalu sedikit. Ada pula saham tak likuid karena harganya terlalu tinggi dan tak terjangkau investor ritel. Ini terjadi pada saham-saham bigcap seperti ASII.

Menurut Lukas, investor juga sering menemukan minimnya informasi karena emiten kurang transparan. Banyak emiten yang sebenarnya buruk tapi selalu menutupinya baik dari otoritas maupun bursa. Otoritas harus menindak tegas emiten-emiten tersebut. BEI harus menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham tadi. "Jika membandel, otoritas jangan ragu mengeluarkan (delisting) saham itu dari BEI," ungkap Lukas.

Oleh karena itu, otoritas tidak perlu takut bahwa delisting saham bermasalah akan menggerus kapitalisasi pasar BEI. Hal ini tidak akan mengurangi kapitalisasi pasar secara signifikan karena saham yang bermasalah biasanya berkapitalisasi kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×