Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Aturan menjual kembali saham ke publik (refloat) belum terlaksana maksimal. Beberapa emiten menunda refloat karena harga sahamnya masih berada di batas bawah. Tak ingin membuat investor cemas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali merevisi aturan refloat tersebut.
Deputi Komisioner Bidang Pengawas Pasar Modal I OJK, Robinson Simbolon mengatakan, saat ini OJK tengah mengkaji dua hal mengenai refloat saham yang tertuang dalam aturan No IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka. Dalam aturan itu, refloat dilakukan apabila terdapat pemegang saham pengendali baru yang membeli saham dan mengakibatkan kepemilikan sahamnya lebih dari 80% sehingga membuat kepemilikan publik menjadi 20%.
Menurut Robinson, selama ini regulator memberikan jangka waktu refloat saham ke publik paling lama dua tahun. Namun, jangka waktu itu dapat ditolerir apabila ada beberapa kondisi yang membuat refloat tidak memungkinkan. Misalnya saja, saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan lebih dari 10% selama tiga hari berturut-turut.
Kalau harga saham masih terus berada di bawah harga tender offer, emiten juga bisa mengajukan perpanjangan refloat selama enam bulan. Pada kenyataannya, ada beberapa emiten yang terus menerus menunda kewajiban refloatnya di publik. Akibatnya, saham pun menjadi tidak likuid.
Ambil contoh, PT Bank International Indonesia Tbk (BNII) yang sudah menunda dua kali kewajiban refloat saham dengan alasan harga saham yang masih berada di batas bawah harga tender offer.
Nah, atas dasar inilah, Robinson bilang, OJK akan kembali mengkaji aturan refloat saham. "Yang sering jadi masalah, emiten belum refloat karena kondisi ini tidak memungkinkan, misal karena ada selisih antara harga saham saat tender offer dan harga saham saat ini. Jangan sampai aturan refloat merugikan emiten juga," kata dia, Kamis (28/2).
Robinson menjelaskan, ada dua opsi yang sedang dikaji untuk aturan ini. Pertama, OJK akan membatasi tender offer maksimal 80% atas kepemilikan di perusahaan. Namun, opsi ini memiliki risiko, yakni ada 20% saham publik yang tidak dapat melakukan penjualan kepada pihak pengendali baru di harga premium. "Bisa jadi, dari awal akan kami batasi jumlah tender offer maksimal 80% jadi kan tidak perlu refloat," kata dia. Soal 20% saham publik yang tidak bisa mendapat harga premium, OJK akan memikirkan opsi penjatahan terhadap saham publik.
Kajian kedua, OJK akan membatasi waktu kewajiban refloat. Dia mencontohkan, jika saat ini emiten diberi batas waktu dua tahun dan bisa memperpanjang hingga enam bulan, OJK akan memaksa emiten untuk melepaskan saham dalam waktu tertentu, misal lima tahun. Jadi, walaupun harga pelaksanaan refloat di bawah harga tender offer sebelumnya, hal itu menjadi risiko investasi pemegang saham. Opsi kedua ini pun memiliki efek samping, yakni kinerja saham yang dijual akan membuat harga saham langsung melemah.
Aturan ini akan dibahas secepatnya dan OJK juga akan meminta masukan dari beberapa perwakilan pelaku pasar. Robinson berharap, dalam waktu dekat, OJK bisa memberikan kepastian soal aturan ini. Catatan OJK, setidaknya ada empat emiten yang diwajibkan melakukan refloat karena ada perubahan pemegang saham pengendalinya, yakni PT Bank Ekonomi Raharja Tbk (BAEK), PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) dan PT Bank International Indonesia Tbk (BNII). "Dari sisi penegakan hukum, aturan yang baru akan lebih fair," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News