kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Obligasi korporasi ritel sulit terealisasi


Sabtu, 16 November 2013 / 07:40 WIB
Obligasi korporasi ritel sulit terealisasi
ILUSTRASI. Investor lebih wait and see karena sentimen di pasar yang lain juga belum baik.


Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Wahyu T.Rahmawati

JAKARTA. Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memasarkan obligasi korporasi layaknya obligasi negara ritel atau ORI masih sulit direalisasikan. Pelaku pasar menilai, perlu edukasi panjang untuk menjaring investor ritel.

Direktur Utama PT Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas, Andri Rukminto mengatakan, hingga kini banyak emiten yang berminat menerbitkan obligasi korporasi ritel. Tapi, keterbatasan basis investor ritel menjadi salah satu kendala bagi emiten untuk penerbitan instrumen ini.

Andri mengatakan, emiten yang paling memungkinkan untuk menerbitkan obligasi korporasi ritel adalah emiten perbankan. "Sebab, perbankan sudah memiliki basis nasabah yang kuat sehingga bisa menyerap obligasi yang diterbitkan," tutur Andri, belum lama ini.

Dalam melakukan penjaminan emisi, kata Andri, pihaknya juga mulai memperbesar alokasi untuk investor ritel saat penawaran obligasi. Salah satunya, saat menjadi penjamin emisi penerbitan obligasi PT Bank Victoria International Tbk, Juni 2013 lalu.

Saat itu, Bank Victoria menerbitkan surat utang senilai Rp 500 miliar, yang terdiri dari obligasi IV 2013 senilai Rp 200 miliar dan obligasi subordinasi III 2013 senilai Rp 300 miliar. Dari total penerbitan ini, sekitar 30% dialokasikan untuk investor ritel. "Kami telah diajak hearing dengan OJK dan telah mencobanya untuk penerbitan obligasi Bank Victoria. Hasilnya sangat bagus karena porsi ritel mencapai Rp 100 miliar," kata Andri.

Kendala lain, kata Andri, soal masih besarnya kocek yang harus dirogoh oleh investor ritel untuk masuk ke obligasi korporasi. Menurut dia, minimum investasi untuk investor masih sekitar ratusan juta rupiah. Hal itu jauh berbeda ketimbang minimum investasi ORI atau sukuk negara ritel yang hanya Rp 5 juta.

Analis obligasi BCA Sekuritas, Herdi Ranu Wibowo mengatakan, perlu sosialisasi investasi obligasi di kalangan ritel atau individu. Saat ini, sosialisasi yang dilakukan masih minim sehingga sebagian besar investor ritel belum paham berinvestasi obligasi.

Selain itu, perlu market maker atau standby buyer untuk menjaga likuiditas di pasar sekunder. Market maker atau standby buyer berfungsi untuk menyerap instrumen obligasi yang dilepas oleh investor di pasar sekunder.

Jadi market maker atau standby buyer seperti primary dealer di surat utang negara (SUN). "Nantinya penjamin emisi atau pelaku pasar yang bersedia bisa berperan sebagai market maker atau standby buyer," tutur Herdi.

Minimum pembelian obligasi korporasi ritel juga bisa diperkecil sekitar Rp 500.000 seperti produk reksadana. Dengan demikian, jangkauan pasar semakin luas dan investor ritel lebih bisa masuk.

Instrumen menarik

Analis NC Securities, I Made Adi Saputra menambahkan, instrumen ini menarik untuk dikembangkan. Namun, perlu edukasi kepada investor ritel serta mempertimbangkan faktor likuiditas. "Mengingat investor akan sangat konservatif. Kecuali, emiten mau menerbitkan obligasi tenor yang pendek 1 tahun hingga 3 tahun," ujar Made.

Menurut Made, investor yang ingin masuk ke instrumen ini perlu memperhatikan peringkat emiten untuk mencegah gagal bayar. "Karena kalau peringkat kurang bagus, akan membuat barang kurang diminati investor dan menjadi tidak likuid," ujar dia.

Di sisi lain, biaya penerbitan yang harus ditanggung emiten untuk menerbitkan obligasi korporasi ritel ini bakal tinggi. Investor ritel diperkirakan akan meminta kupon yang lebih tinggi sehingga biaya dana membengkak.

Selain itu, emiten juga harus mengeluarkan biaya untuk edukasi melalui kegiatan premarketing. "Ukuran penerbitan juga kecil karena daya serap tidak terlalu besar. Cakupan investor kemungkinan hanya investor di wilayah DKI Jakarta," kata dia.

Sebetulnya, prospek instrumen ini masih menarik. Imbal hasil obligasi korporasi ritel diperkirakan lebih besar ketimbang ORI ataupun sukuk ritel.
Made mengatakan, obligasi korporasi ritel bisa menjadi alternatif investasi bagi investor. Untuk berinvestasi di instrumen ini, return yang diperoleh investor akan dipotong pajak dan berbagai biaya seperti layaknya ORI.

Dengan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi dari instrumen ORI maupun sukuk ritel, seharusnya insturmen obligasi korporasi ritel menarik bagi nasabah ritel. "Prospeknya masih baik karena selama ini permintaan dari investor ritel terhadap obligasi, khususnya obligasi pemerintah, masih cukup besar," kata Made.

Ariawan, analis obligasi Sucorinvest Central Gani bilang, kupon obligasi korporasi ritel mengacu pada kupon ORI atau sukuk negara ritel. Cuma, obligasi korporasi ritel bakal memberikan kupon lebih tinggi karena disertai dengan risk premium. "Preminya akan tergantung pada peringkat obligasi itu," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×