Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah memangkas besaran suku bunga acuan dari 4,5% menjadi 4,25%. Obligasi sebagai investasi berbasis suku bunga dinilai diuntungkan dengan penurunan tersebut.
Dari segi imbal hasil, baik obligasi pemerintah ataupun obligasi korporasi sejauh ini mencatatkan kinerja yang cukup baik. Merujuk data dari Indonesia Bond Price Agency (IBPA), imbal hasil obligasi pemerintah sebesar 2,90% secara year to date (ytd) hingga 19 Juni kemarin. Sementara imbal hasil obligasi korporasi tercatat sebesar 3,90% secara ytd.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan, pemangkasan suku bunga acuan berdampak baik terhadap kinerja obligasi. Pasalnya, dengan tren suku bunga rendah ke depan, potensi penekanan yield pun semakin terbuka lebar.
“Dengan demikian, harga obligasi pun bisa naik. Hanya saja, sekarang ini faktor eksternal berperan cukup besar, dan cenderung tidak bisa dikendalikan,” ujar Ramdhan kepada Kontan.co.id, Minggu (21/6).
Baca Juga: Penawaran masuk pada lelang sukuk negara diperkirakan lebih dari Rp 20 triliun
Ramdhan menilai, dengan perkembangan saat ini, obligasi pemerintah cenderung lebih menarik. Pasalnya, sejauh ini banyak rating dan outlook korporasi yang dipangkas karena aliran kas perusahaan banyak yang terdampak imbas dari pandemi virus corona. Dus, risiko semakin terbuka lebar dan membuat investor harus lebih jeli lagi memilih obligasi korporasi.
“Dari segi likuiditas, obligasi korporasi di pasar sekunder saat ini juga tidak terlalu likuid. Berbeda dengan SUN yang lebih likuid, serta bebas dari risiko karena dijamin negara,” lanjut Ramdhan.
Walau Ramdhan tak menampik, dari segi imbal hasil obligasi negara jauh lebih kecil dibanding obligasi korporasi. Hanya saja, dalam kondisi saat ini, menurutnya likuiditas dan risiko terukur adalah yang paling penting.
Baca Juga: Obligasi negara atau korporasi, mana yang lebih menarik?
Sementara itu, Fund Manager Insight Investments Management Nesya F Agustini mengatakan katalis negatif obligasi negara adalah proyeksi pelebaran defisit fiskal hingga ke level 6,34% dari GDP. Pelebaran tersebut dinilai Nesya berpotensi menyebabkan kebutuhan pendanaan semakin banyak dan menimbulkan kekhawatiran terhadap peringkat surat utang Indonesia.
Lebih lanjut, hal tersebut disebut Nesya juga dapat menimbulkan risiko dari sisi supply surat utang yang pada akhirnya dapat menekan pergerakan harga SBN. “Tetapi risiko tersebut dapat diantisipasi pemerintah dengan memanfaatkan ruang financing melalui penerbitan global bond dan retail bond hingga akhir tahun 2020. Sementara terkait peringkat surat utang Indonesia, sejauh ini lembaga pemeringkat S&P hanya menurunkan outlook saja, tanpa diikuti penurunan rating,” pungkas Nesya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News