Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Meski pengujung tahun sudah di depan mata, belum ada sinyal pergerakan rupiah akan membaik. Memandang rupiah di tahun 2016 mendatang, ada beragam faktor yang akan membayangi pergerakan mata uang Garuda. Hanya saja, arah kebijakan moneter The Fed masih dikhawatirkan membayangi pergerakan rupiah.
Kenaikan ataupun penundaan suku bunga The Fed pada FOMC 15 – 16 Desember 2015 nanti tetap akan berujung pada peluang kenaikan serupa di tahun 2016. "Itu perlu dicermati dan masih akan mendominasi arah kekuatan rupiah dari sisi eksternal," tutur Helmi Arman, Ekonom Citibank Indonesia.
Memang, hingga kini pergerakan rupiah masih di bawah pengaruh penantian pasar menyusul kian dekatnya pertemuan FOMC. Hingga Kamis (10/12) pukul 11.30 WIB posisi rupiah di pasar spot terangkat 0,44% ke level Rp 13.954 per dollar AS setelah sehari sebelumnya ditutup menembus Rp 14.016 per dollar AS. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia, valuasi rupiah justru merosot 0,72% ke level Rp 13.954 per dollar AS setelah sebelumnya libur menyambut perhelatan pilkada.
"Selain faktor The Fed, tidak bisa disingkirkan pengaruh devaluasi yuan juga membayangi," tutur Helmi. Meski telah tercatat sebagai SDR pada awal pekan lalu, People's Bank of China (PBOC) masih berupaya menggenjot perekonomian domestiknya. Salah satunya dengan devaluasi mata uang yuan.
Langkah teranyar PBOC adalah kembali menurunkan nilai tengah yuan sebesar 0,1% sehingga bertengger di level 6,4140 per dollar AS di Rabu (9/12). Valuasi yuan ini menembus level terendahnya sejak 2011 silam. Jelas ini bukan langkah kebijakan moneter longgar China yang terakhir. Masih akan ada rentetan lanjutannya di tahun 2016. Hal tersebut juga akan memberikan imbas pada pergerakan rupiah tahun 2016.
Beralih ke sisi internal, ada peluang daya dongkrak yang berasal dari sentimen domestik. Pertama, minat pembiayaan dan investasi dari investor asing masih akan tinggi. Melihat dari beragam stimulus yang sudah dijabarkan pada paket kebijakan ekonomi pemerintah.
Upaya tersebut akan menggenjot daya tarik investor di pasar Indonesia. Tentunya jika pembiayaan luar negeri terus mengalir masuk, efeknya akan positif terhadap pergerakan rupiah. "Minat itu masih akan besar terutama dari Tiongkok," duga Helmi.
Bukan berarti genjotan aktivitas ekonomi dalam negeri terutama infrastruktur tersebut akan mulus tanpa rintangan. Dengan tingginya impor infrastruktur karena kebutuhan yang meningkat bisa bermuara pada naiknya defisit transasksi berjalan Indonesia.
Namun hal tersebut tidak akan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi rupiah. "Terlihat momentum penguatan rupiah di 2016 akan terjaga jika aktivitas ekonomi yang meningkat diikuti dengan genjotan angka pertumbuhan ekonomi domestik terutama dari sisi infrastruktur," perkiraan Helmi.
Walaupun tekanan negatif dari eksternal tidak bisa dihapuskan begitu saja, namun dengan adanya daya tahan dari dalam negeri itu, nilai rupiah bisa terjaga. Tekanan negatif tidak akan menyeret rupiah pada pelemahan sedalam yang dialami mata uang Garuda di tahun 2015 ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News