kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Meraba otot rupiah


Rabu, 23 Januari 2013 / 13:18 WIB
Meraba otot rupiah
ILUSTRASI. Lipstick Merah


Reporter: Harris Hadinata | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), untuk sementara ini, surut. Kamis lalu (17/1), kurs rupiah di pasar spot menguat ke level Rp 9.650 per dollar AS. Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga ke Rp 9.868 per dollar AS (15/1). Ini adalah posisi penutupan rupiah terendah rupiah dalam tiga tahun terakhir.

Nilai tukar rupiah di pasar non deliverable forward (NDF) juga menguat. Pada pukul 18.40 WIB Kamis lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS untuk kontrak NDFDF tiga bulan turun hingga Rp 9.951 per dollar AS. Kamis dua pekan lalu (10/1), nilai tukar rupiah di kontrak ini sempat mencapai level tertinggi di Rp 10.025 per dollar AS.

Para analis melihat, rupiah menguat karena Bank Indonesia (BI) mengintervensi untuk mencegah rupiah terus melemah. Pasar juga merespon positif sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengurangi laju pelemahan rupiah.

Salah satunya, Menteri BUMN Dahlan Iskan melarang Pertamina dan PLN mencari dollar di pasar uang. Kebutuhan dollar AS untuk dua perusahaan ini akan dipasok langsung dari BI. "Kebijakan ini positif, karena selama ini permintaan rupiah dari Pertamina dan PLN sangat besar," kata Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas.

Risiko emerging market

Meski rupiah sudah kembali menguat, bukan berarti tekanan ke mata uang Garuda ini sudah berkurang. Ancaman penurun-an nilai tukar rupiah masih membayang. "Isu paling besar yang mempengaruhi rupiah adalah isu ekonomi global," kata Appressyanti Senthaury, analis tresuri Bank BNI.

Prospek pertumbuhan ekonomi global saat ini memang masih suram. Bank Dunia, Rabu lalu (16/1), memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari sebelumnya 3% menjadi hanya 2,4%. Salah satu alasannya, Bank Dunia memprediksi, ekspor dari kawasan Asia Tenggara masih akan terus turun tahun ini.

Selain itu, rupiah masih dibayangi defisit neraca pembayaran. Ini membuat pelaku pasar menilai risiko investasi di aset rupiah saat ini tinggi. Alhasil, sebagian pelaku pasar melakukan mengalihkan dana ke aset dollar AS untuk mengurangi risiko.

Richard Bernstein, pendiri Richard Bernstein Advisors, melalui risetnya juga mengindikasikan investor mengalihkan asetnya ke dollar AS. Ia memprediksi, kinerja pasar saham di negeri Hollywood tersebut pada tahun ini bisa mengalahkan kinerja saham di negara berkembang (emerging market).

Alasannya, kinerja perusahaan AS masih paling sehat di dunia. "Laba perusahaan di emerging market akan tetap tumbuh, tapi rebound laba akan lebih rendah dari yang diharapkan investor," ujar Bernstein.

Selain itu, ia menilai, imbal hasil dari aset non-dollar AS jadi tidak menarik seiring penguatan dollar AS. Bernstein juga menilai, investor saat ini meremehkan risiko berinvestasi di emerging market.

Tapi, Appressyanti tidak sepakat dengan proyeksi Bernstein. "Masih ada optimisme imbal hasil dari mata uang rupiah," ujar dia. Apalagi, ekonomi Amerika sendiri saat ini masih dibayangi banyak masalah. Dia menilai, Pemerintah AS masih sulit menurunkan tingkat pengangguran dari level 7%.

Hanya saja, para analis mengakui, rupiah belum akan menguat dalam waktu dekat. Jadi, buat Anda yang butuh dollar AS, siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×