Reporter: Harris Hadinata | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), untuk sementara ini, surut. Kamis lalu (17/1), kurs rupiah di pasar spot menguat ke level Rp 9.650 per dollar AS. Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga ke Rp 9.868 per dollar AS (15/1). Ini adalah posisi penutupan rupiah terendah rupiah dalam tiga tahun terakhir.
Nilai tukar rupiah di pasar non deliverable forward (NDF) juga menguat. Pada pukul 18.40 WIB Kamis lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS untuk kontrak NDFDF tiga bulan turun hingga Rp 9.951 per dollar AS. Kamis dua pekan lalu (10/1), nilai tukar rupiah di kontrak ini sempat mencapai level tertinggi di Rp 10.025 per dollar AS.
Para analis melihat, rupiah menguat karena Bank Indonesia (BI) mengintervensi untuk mencegah rupiah terus melemah. Pasar juga merespon positif sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengurangi laju pelemahan rupiah.
Salah satunya, Menteri BUMN Dahlan Iskan melarang Pertamina dan PLN mencari dollar di pasar uang. Kebutuhan dollar AS untuk dua perusahaan ini akan dipasok langsung dari BI. "Kebijakan ini positif, karena selama ini permintaan rupiah dari Pertamina dan PLN sangat besar," kata Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas.
Risiko emerging market
Meski rupiah sudah kembali menguat, bukan berarti tekanan ke mata uang Garuda ini sudah berkurang. Ancaman penurun-an nilai tukar rupiah masih membayang. "Isu paling besar yang mempengaruhi rupiah adalah isu ekonomi global," kata Appressyanti Senthaury, analis tresuri Bank BNI.
Prospek pertumbuhan ekonomi global saat ini memang masih suram. Bank Dunia, Rabu lalu (16/1), memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari sebelumnya 3% menjadi hanya 2,4%. Salah satu alasannya, Bank Dunia memprediksi, ekspor dari kawasan Asia Tenggara masih akan terus turun tahun ini.
Selain itu, rupiah masih dibayangi defisit neraca pembayaran. Ini membuat pelaku pasar menilai risiko investasi di aset rupiah saat ini tinggi. Alhasil, sebagian pelaku pasar melakukan mengalihkan dana ke aset dollar AS untuk mengurangi risiko.
Richard Bernstein, pendiri Richard Bernstein Advisors, melalui risetnya juga mengindikasikan investor mengalihkan asetnya ke dollar AS. Ia memprediksi, kinerja pasar saham di negeri Hollywood tersebut pada tahun ini bisa mengalahkan kinerja saham di negara berkembang (emerging market).
Alasannya, kinerja perusahaan AS masih paling sehat di dunia. "Laba perusahaan di emerging market akan tetap tumbuh, tapi rebound laba akan lebih rendah dari yang diharapkan investor," ujar Bernstein.
Selain itu, ia menilai, imbal hasil dari aset non-dollar AS jadi tidak menarik seiring penguatan dollar AS. Bernstein juga menilai, investor saat ini meremehkan risiko berinvestasi di emerging market.
Tapi, Appressyanti tidak sepakat dengan proyeksi Bernstein. "Masih ada optimisme imbal hasil dari mata uang rupiah," ujar dia. Apalagi, ekonomi Amerika sendiri saat ini masih dibayangi banyak masalah. Dia menilai, Pemerintah AS masih sulit menurunkan tingkat pengangguran dari level 7%.
Hanya saja, para analis mengakui, rupiah belum akan menguat dalam waktu dekat. Jadi, buat Anda yang butuh dollar AS, siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News