kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Menjual anak-anak mumpung sedang cuan


Rabu, 12 Desember 2012 / 16:44 WIB
Menjual anak-anak mumpung sedang cuan
ILUSTRASI. Cara mengenali serangan jantung ringan, cermati 8 ciri-ciri berikut


Reporter: Ruisa Khoiriyah, Teddy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Ketika mendengar nama grup Manunggal, mungkin, sebagian Anda akan langsung teringat pada panasnya skandal kredit macet yang meledak di kisaran 1997-1998 silam, masa ketika perekonomian Indonesia ambruk ke titik nadir akibat terjangan krisis moneter.

The Nin King, pemilik grup Manunggal, masuk dalam daftar 20 debitur terbesar bank dengan nilai kredit macet mencapai kisaran Rp 2,54 triliun. Kasus tersebut berakhir tahun 2003 dengan dikeluarkannya kebijakan release and discharge (R&D).

Bisnis King, yang masuk dalam daftar jajaran orang terkaya di Indonesia, tetap bergulir hingga kini. Kepak sayap Manunggal meluas di bisnis tekstil, perdagangan, dan properti. Nah, yang termutakhir, grup Manunggal terlihat sibuk menjual sebagian kepemilikannya di beberapa aset andalan.

November lalu, konglomerasi itu menjual sebagian kepemilikan saham di dua perusahaan miliknya yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dan PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST).

Seperti dicatat dalam keterbukaan informasi BEI, PT Manunggal Prime Development, salah satu anak usaha grup Manunggal, pemilik 25,13% saham ASRI, telah melepas 6,45% atau setara 1,26 miliar saham, pada 12 November 2012.

Penjualan saham dimaksudkan sebagai langkah diversifikasi atau pengalihan investasi. Namun, identitas pembeli ASRI yang dilepas Manunggal Prime, belum diketahui. Sekretaris Perusahaan Alam Sutera Nathan Tanugraha menyebut, transaksi dilakukan tanpa melibatkan manajemen ASRI. Namun, tidak tertutup kemungkinan, saham ASRI itu dilepas Manunggal Prime ke anak usaha grup Manunggal yang lain.

Hal yang sudah pasti, dengan melepas ASRI seharga Rp 570 per saham, Manunggal Prime mengantongi Rp 722 miliar dari aksi penjualan itu.

Pelegoan saham juga tidak menggeser grup Manunggal dari posisi pengendali di perusahaan properti tersebut. Kepemilikan Manunggal Prime masih besar, yaitu 18,68%. Ditambah lagi, dua anak usaha yang lain, yakni PT Tangerang Fajar Industrial Estate dan PT Argo Manunggal Land Development, masing-masing menguasai 25,21% dan 3,10% saham ASRI.

Sejatinya, sebagian saham ASRI yang dilepas oleh Manunggal Prime itu baru dibeli pada akhir Juni 2012. Ketika itu, Manunggal Prime membeli 2,11 miliar saham ASRI di harga Rp 460 per saham atau senilai total Rp 974,28 miliar dari
PT Selaras Citra Manunggal.

Pada waktu bersamaan, PT Bukit Asri Padang Golf juga menjual 1,06 miliar saham ASRI kepada Tangerang Fajar, senilai total Rp 487,6 miliar. Aksi pelegoan saham senilai total Rp 1,48 triliun pada Juni lalu itu, dilakukan sebagai langkah restrukturisasi internal di antara pemegang saham pendiri ASRI. Tujuannya agar pengambilan keputusan di perusahaan lebih efisien.

Berusaha menggaet investor Jepang

Jika mengasumsikan saham yang dilepas Manunggal Prime adalah saham yang mereka beli Juni 2012, maka keuntungan Manunggal Prime sedikitnya 24% dari aksi jual itu.

Yang menarik, grup Manunggal bukan cuma bongkar pasang aset di Alam Sutera. Pada akhir November lalu, Argo Manunggal Land yang menguasai 72% saham PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST) menjual 10% atau 964,75 juta saham BEST, kepada Daiwa House Industry Co Ltd.

Harga penjualan saham BEST kepada perusahaan Jepang itu tidak disebutkan persis. Kepada BEI, manajemen Bekasi Fajar hanya mengungkapkan, harga transaksi penjualan BEST adalah “kisaran harga per saham”.

Menengok data historis, harga rata-rata saham BEST sejak tercatat di BEI pada 10 April 2012 hingga 30 November, berkisar Rp 570,75 per saham. Dengan asumsi itu, nilai transaksi jual beli saham BEST tersebut berkisar Rp 550,63 miliar.

Kepemilikan Argo Manunggal Land di Bekasi Fajar setelah transaksi pun masih mayoritas, yaitu 62%. Lalu, sebesar 0,08% dimiliki Hungkang Sutedja, 10% milik Daiwa, dan sisanya oleh investor publik dengan kepemilikan saham di bawah 5%. “Pengalaman serta keahlian Daiwa akan menciptakan sinergi yang produktif,” jelas Khrisna Daswara, Sekretaris Perusahaan Bekasi Fajar, dalam keterbukaan BEI, Kamis (29/11).

Menurut penuturan sumber KONTAN di Grup Argo Manunggal, aksi penjualan saham anak-anak usaha yang dilakukan dalam waktu berdekatan itu tak memiliki tujuan khusus. “Hanya merealisasikan investasi biasa. Harga saham sedang bagus, ya, kami lepas untuk mendapat untung,” ujarnya.

Seperti apa pengaruh aksi pemegang saham pengendali itu terhadap prospek kinerja Alam Sutera dan Bekasi Fajar. Berikut uraian dan rekomendasi para analis yang dihubungi KONTAN untuk Anda.

Alam Sutera Realty (ASRI)

Di mata analis, investor publik tidak perlu terlalu merisaukan aksi pemegang saham pengendali yang kerap menempuh aksi jual beli saham dalam jumlah besar, seperti yang ditunjukkan oleh grup Manunggal.

“Terlebih jika transaksinya masih di bawah satu grup, seperti yang ditunjukkan oleh Alam Sutera pada Juli lalu,” kata Anindya Saraswati, analis Danareksa Sekuritas.

Pengambilan keputusan di antara para pemegang saham bisa berjalan lebih efisien. Risiko perubahan garis kebijakan perusahaan secara drastis relatif kecil. Dengan demikian, prospek perusahaan di masa mendatang belum akan terpengaruh.

Kinerja Alam Sutera diperkirakan masih mengkilap ke depan, terutama jika melihat pencapaian kinerja pengembang kawasan Alam Sutera itu hingga Oktober lalu. Alam Sutera membukukan prapenjualan (marketing sales) senilai Rp 3,44 triliun, dalam 10 bulan pertama 2012. Angka itu setara dengan 98,4% target penjualan Alam Sutera tahun ini. Sebanyak 84% penjualan disumbang oleh proyek residensial Alam Sutera di Serpong dan sisanya dari proyek di Pasar Kemis.

Manajemen Alam Sutera tidak berencana merilis klaster baru di kuartal akhir tahun ini. Maklumlah, dengan klaster yang sudah ada saja, target penjualan tahun ini sudah hampir tercapai. “Perkiraan kami, marketing sales Alam Sutera tahun ini mencapai Rp 3,55 triliun,” imbuh Anindya.

Pada kuartal III-2012, Alam Sutera mencetak penjualan, pendapatan jasa dan lainnya, senilai Rp 1,71 triliun, tumbuh 68% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Laba bersih yang berhasil dibukukan tumbuh 78% menjadi Rp 738 miliar.

Anindya memperkirakan, tahun ini laba bersih Alam Sutera mencapai Rp 998 miliar. Pada 2013 dan 2014, laba bersih Alam Sutera diprediksi Rp 1,26 triliun dan Rp 1,6 triliun.

Hingga September lalu, total cadangan lahan Alam Sutera mencapai 2.054 ha. Yang terbaru, Alam Sutera mengakuisisi 173 ha lahan di Pasar Kemis sehingga total penguasaan lahannya di kawasan itu mencapai 1.443 ha. Di Serpong, landbank Alam Sutera bertambah 65 ha menjadi 297 ha.

Emiten ini juga baru mengakuisisi 9.000 m² lahan di kawasan protokol Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Alam Sutera akan membangun gedung perkantoran di situ dan mulai menjualnya tahun depan.

Sementara itu, mal Alam Sutera siap dibuka resmi (grand opening) pada 12 Desember 2012. Luas area disewakan mencapai 68.000 m² dan 96% kini telah berstatus disewa oleh tenants, di antaranya Sogo Department Store, The Food Hall, Cinema XXI, Gramedia, dan Gold’s Gym.

Anindya memperkirakan, mal baru itu mampu menyumbang Rp 107 miliar bagi pos recurring income Alam Sutera pada 2013. Di luar itu, Alam Sutera juga masih merintis pengembangan kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), yang baru diakuisisi senilai Rp 813 miliar di awal tahun 2012. “Kami masih fokus mengembangkan cultural park-nya. Perseroan tidak akan membangun residensial di situ,” jelas Nathan.

Dari sisi pendanaan, Alam Sutera masih memiliki kas internal senilai Rp 1,75 triliun. Perusahaan ini juga memiliki dana hasil rights issue Rp 786 miliar dan emisi obligasi US$ 150 juta, serta pinjaman bank Rp 600 miliar.

Menimbang faktor-faktor tersebut, Anindya berani merekomendasikan investor untuk membeli saham ASRI dengan target harga Rp 760 per saham. Dus, masih ada potensi kenaikan harga (potential upside) 21%. Pada Kamis (6/12), saham ASRI ditutup pada harga Rp 630 per saham.

Bekasi Fajar Industrial (BEST)

Langkah penjualan 10% saham BEST kepada Daiwa oleh grup Manunggal, di mata analis, cukup positif. Keberadaan Daiwa bisa menjadi magnet bagi calon investor Jepang lain untuk masuk ke kawasan industri MM2100. “Perusahaan Jepang punya tendensi bekerjasama dengan sesama Jepang juga,” kata Triwira Tjandra, analis Ciptadana Securities.

Bekasi Fajar juga menjadi mitra pertama Daiwa di Indonesia. Nama Daiwa cukup ngetop di Negeri Sakura sebagai pemain kawakan di bisnis properti residensial dan industri. Korporasi yang berdiri sejak tahun 1955 itu telah merambah bisnis properti ke China, Amerika Serikat, dan Australia.

Tak berhenti sampai di situ, “Japan Connection” Bekasi Fajar berlanjut dengan langkah emiten ini menggandeng Marubeni Corporation. Bekasi Fajar meneken nota kesepahaman dengan Marubeni pada 30 November 2012 untuk pengembangan bersama alias joint development melalui pembentukan anak usaha baru.

Anak usaha baru itu akan mengelola kawasan industri seluas 130 ha. Bekasi Fajar menguasai 75% saham di anak usaha baru itu, sementara Marubeni 25%. Marubeni akan membayar premi atas akuisisi perusahaan itu. “Peran Marubeni adalah membawa strategic & anchor tenants dari Jepang,” jelas Khrisna.

Nama Marubeni sudah cukup terkenal di telinga orang Indonesia. Perusahaan Jepang itu telah memiliki beberapa tentakel bisnis di tanah air. Di antaranya, pabrik kertas PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper, lalu PT Supreme Energy Rantau Dedap, yang baru saja menandatangani jual beli listrik dengan PLN selama 30 tahun.

Nilai kontribusi kerjasama baru Bekasi Fajar dengan Marubeni memang belum ada hitungan persis. Namun, di mata analis, prospek Bekasi Fajar ke depan masihlah menawan. Analis Bahana Securities Natalia Sutanto memperkirakan, tahun ini Bekasi Fajar mampu membukukan pendapatan dan laba bersih masing-masing Rp 954 miliar dan Rp 430 miliar.

Kenaikan harga jual tanah di kawasan industri menyokong pertumbuhan kinerja Bekasi Fajar. Harga jual rata-rata tanah Bekasi Fajar sekitar US$ 150 per m2, naik 55% dalam setahun.

Tahun depan, Natalia menghitung, pendapatan Bekasi Fajar mencapai Rp 1,39 triliun, dengan laba bersih Rp 799 miliar. Adapun, penjualan lahan Bekasi diprediksi mencapai 110 ha dengan harga jual US$ 165 per m².

Prediksi Triwira tak jauh berbeda. Penjualan Bekasi Fajar tahun depan bisa mencapai Rp 1,4 triliun. “Banyak marketing sales tahun ini yang baru akan dibukukan tahun depan,” jelas Triwira. Dus, tak mustahil, Bekasi Fajar meraup laba bersih Rp 812 miliar, tahun depan.

Di antara emiten-emiten kawasan industri, Bekasi Fajar dinilai memiliki kelebihan. Landbank Bekasi Fajar masih cukup luas, sekitar 777 ha. Bandingkan dengan landbank PT Surya Semesta Internusa Tbk yang tinggal 549 ha atau PT Lippo Cikarang Tbk yang cuma punya cadangan 325 ha.

Kenaikan upah buruh di Jabodetabek juga dinilai tidak menyurutkan minat investor asing ke kawasan industri. Indonesia masih menarik karena dianggap sebagai pasar yang besar. Natalia merekomendasikan beli saham BEST dengan target harga Rp 940 per saham. Target harga Triwira sebesar Rp 870 per saham.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 11 - XVII, 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×