Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tahun lalu masih menjadi periode yang kurang bergairah bagi emiten-emiten perkebunan. Dari segi produksi dan top line, kinerja emiten-emiten tersebut mengalami peningkatan. Sayangnya, harga komoditas global yang masih lesu membuat bottom line emiten tetap tergerus.
Contoh, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang membukukan kenaikan pendapatan sebesar 12,4% menjadi Rp 12,67 triliun di 2013. Namun, laba bersih AALI mencatatkan penurunan 25% menjadi Rp 1,8 triliun.
Lalu, ada PT BW Plantation Tbk (BWPT) yang mencatat kenaikan pendapatan 52% menjadi Rp 1,44 triliun. Tapi, laba bersihnya turun 31% menjadi Rp 181,78 miliar.
Nah, saat ini mulai beredar optimisme untuk industri perkebunan, khususnya bagi para emiten yang memproduksi crude palm oil (CPO). Proyeksi perbaikan ekonomi global akan membuat harga CPO dunia ikut terkerek naik meski tidak secara langsung.
Sederhananya, perbaikan ekonomi akan meningkatkan konsumsi, khususnya bahan pangan. Kenaikan permintaan barang-barang konsumsi berarti juga meningkatkan permintaan bahan bakunya, salah satunya berupa CPO.
"Ekonomi pulih, pendapatan naik, konsumsi pangan naik berarti permintaan minyak goreng juga naik. CPO, kan, bahan baku minyak goreng sehingga otomatis permintaan CPO meningkat dan pada akhirnya bisa memulihkan harga CPO," jelas Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities kepada KONTAN, (13/3).
Setidaknya, atas dasar fundamental itu ada saham emiten CPO yang direkomendasikan Reza. Rinciannya, saham AALI dengan target harga Rp 28.500 per saham, LSIP target harga Rp 2.450 per saham, SIMP target harga Rp 980-Rp 1.000 per saham, BWPT target harga Rp 1.450-Rp 1.480 dan SSMS target harga Rp 1.060-Rp 1.100.
Optimisme kian besar seiring adanya sentimen terkait penurunan stok CPO di Malaysia yang juga merupakan salah satu produsen CPO terbesar di dunia selain Indonesia. Dia menambahkan, stok yang menipis berarti suplai di pasar menurun sementara permintaan terus berjalan. Alhasil, harga CPO global merangkak naik, dan momentum ini bisa dimanfaatkan emiten CPO untuk memperbaiki kinerja keuangannya.
Yasmin Soulisa, analis BNI Securities dalam risetnya menjelaskan, penurunan stok tersebut merupakan buntut dari umur pohon sawit yang sudah mulai menua sehingga produktivitasnya menurun plus musim panen sawit yang sudah lewat.
Kondisi itu membuat tingkat produksi yang lebih rendah 6% menjadi 1,51 juta ton. Nah, kondisi inilah yang pada akhirnya membuat inventori sawit menurun.
Bahkan, bulan Januari lalu stok CPO di Malaysia tercatat sebesar 1,07 juta ton. Selain mengalami penurunan 31% year on year, angka ini juga merupakan level terendah dalam tiga bulan sebelumnya.
Hal itu bisa menjadi katalis peningkatan harga jual CPO global dimana permintaan dari luar negeri akan melampaui kapasitas produksinya. "Untuk itu, kami berikan rekomendasi overweight untuk sektor perkebunan," tambah Yasmin.
Tak berhenti sampai disitu. Peluang perbaikan harga juga semakin besar mengingat mulai tahun ini pemerintah mengeluarkan mandat komposisi 10% minyak nabati dalam bahan bakar solar. Artinya, permintaan domestik akan CPO kian besar, padahal perkebunan sawit di Indonesia sama seperti di Malaysia yang produktivitasnya tengah menurun.
Industri CPO bullish?
Namun, apakah sentimen tersebut benar-benar akan membuat industri CPO kembali bullish? Apakah potensi kenaikan harga CPO global bisa membuat kinerja emiten yang bersangkutan membaik?
Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner PT Investa Saran Mandiri menjelaskan kepada KONTAN, meski mengalami penurunan tapi stok tersebut masih terbilang melimpah sehingga perbaikan harga belum tentu akan terjadi secara signifikan.
Apalagi, saat ini Amerika Serikat dan negara-negara kawasan Eropa tidak suka dengan produk minyak sawit. Alasannya, produk tersebut merusak lingkungan, dan mereka menekan permintaan minyak sawit melalui pajak impor yang tinggi. Sayangnya, pemerintah tidak berhasil melobi permasalahan ini saat pertemuan APEC yang diselenggarakan tahun lalu.
"Saya juga tidak mengerti bagian mana yang bikin rusak lingkungan. Kemarin sempat kunjungan ke kebun LSIP, dan lahannya sudah ditanami sawit sejak zaman Belanda tapi sampai sekarang tanahnya enggak rusak," tutur Kiswoyo.
Jadi, meski ada penurunan persedian, tapi sayangnya pangsa pasarnya mengecil. Hal ini bisa dipastikan akan menjadi hambatan bagi harga CPO untuk merangkak naik.
Lalu, menyoal potensi kenaikan permintaan yang bakal mengerek harga seiring mandatori pemerintah terkait kandungan dalam biodiesel. Saat ini, kandungan minyak nabati dalam biodiesel diwajibkan sebesar 10%.
Mandat tersebut memang bisa meningkatkan permintaan harga, tapi sangat terbatas. Kandungan minyak nabati dalam biodiesel tidak mungkin dinaikan hingga level 100%. Sebab, bahan bakar yang 100% berasal dari minyak nabati justru akan merusak mesin.
Pernah ada uji coba penggunaan 100% minyak nabati sebagai bahan bakar mobil-mobil pemerintahan AS. Tapi, mesin tersebut hanya tahan selama tiga bulan, setelah itu rusak. Setelah diadakan penelitian lebih lanjut, batas ideal penggunaan minyak nabati dalam biodiesel maksimal hanya 15%-20%.
Andai pun angka 15%-20% itu ternyata membuat permintaan naik signifikan, ada satu hal yang perlu diingat, Pertamina memiliki kontrol penuh atas produksi biodiesel. Bisa dipastikan, Pertamina akan mencari bahan baku subtitusi selain minyak nabati untuk campuran solar, yakni singkong dan jarak.
Sebab, singkong dan jarak itu bukan komoditas global. Tidak ada satu pun bursa di dunia yang memperdagangkan kontrak penjualan singkong dan jarak, sehingga harganya bisa lebih murah dibanding minyak sawit.
Namanya juga bisnis. Produsen, dalam hal ini Pertamina, pasti mencari bahan baku yang paling efisien dan mendulang untung semaksimal mungkin. Nah, pilihan itu jatuh pada singkong dan jarak, bukan minyak nabati.
"Makanya, saya tidak melihat adanya tanda-tanda bullish sektor perkebunan tahun ini," pungkas Kiswoyo.
Tapi, jika memang masih benar-benar niat berinvestasi di saham sektor perkebunan, dia merekomendasikan saham BWPT dengan target harga Rp 1.400 per saham. Sebab, emiten ini memiliki umur pohon sawit yang relatif masih muda, lima hingga tujuh tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News