Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja indeks Kompas100 masih tertekan sejak awal tahun. Kondisi global yang masih belum stabil kemungkinan masih belum bisa membuat kinerja indeks ini bisa pulih di semester II 2025.
Tengok saja, indeks Kompas100 terkoreksi 5,87% sejak awal tahun alias year to date (YTD). Koreksinya lebih dalam dibandingkan penurunan IHSG yang hanya sudah turun 2,98% YTD.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto melihat, kinerja indeks Kompas100 yang lebih rendah dari IHSG disebabkan gerak emiten konstituennya yang memang mengalami koreksi dalam sejak awal tahun 2025.
"Saham-saham konstituen Kompas100, seperti BBRI dan TLKM, mengalami kinerja yang buruk akibat dari aliran modal asing keluar," ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/6).
Melansir RTI, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sahamnya turun 7,35% YTD dan TLKM sahamnya turun 4,43% YTD. Saham BBRI sudah dilego asing Rp 4,02 triliun YTD di pasar reguler.
Baca Juga: IHSG Melonjak 1,21% Hari Ini (24/6), Net Sell Investor Asing Tembus Rp 929 Miliar
Equity Analyst Pilarmas Investindo Sekuritas Arinda Izzaty bilang, pemberat indeks Kompas100 yang secara YTD minus lebih besar daripada IHSG adalah pelemahan yang terjadi pada saham-saham sektor energi dan basic materials.
"Dari sektor energi, saham pemberat indeks di antaranya adalah PGAS, MEDC, PTBA, ITMG, AKRA, ENRG, INDY, dan ELSA. Sedangkan dari basic materials ada ANTM, MDKA, MBMA, dan ESSA," ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/6).
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan melihat, kinerja indeks Kompas100 yang tertinggal dari IHSG saat ini disebabkan oleh komposisi sektoralnya. Indeks Kompas100 banyak didominasi oleh saham-saham bluechip dari sektor perbankan, konsumer, dan properti.
"Padahal, ketiga sektor itu yang justru mengalami tekanan dalam situasi geopolitik golbal yang memanas, termasuk konflik Israel-Iran," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (24/6).
Sementara itu, konstituen Kompas100 dari sektor-sektor yang tengah menguat, seperti emas, energi, dan perkapalan, malah lebih banyak didominasi oleh saham-saham second liner yang bobotnya relatif kecil dalam indeks Kompas100.
"Karena itu, wajar jika performa Kompas 100 tertinggal dari IHSG yang secara keseluruhan lebih mencerminkan sektor-sektor yang sedang naik daun," tuturnya.
Rully melihat, prospek kinerja indeks Kompas100 untuk kuartal II masih tertekan. Terutama, dari sisi kinerja fundamental para emiten yang akan terpengaruh oleh pelemahan ekonomi global dan domestik. "Kemungkinan pertumbuhan di kuartal II akan lebih rendah dibandingkan kuartal I," ungkapnya.
Baca Juga: Pergerakan IHSG Bergantung Perkembangan Konflik di Timur Tengah
Di kuartal II 2025, Rully melihat sektor komoditas, khususnya pertambangan emas, bisa menopang indeks Kompas100. Hal itu sejalan dengan kenaikan harga emas yang masih berlangsung. Alhasil, Rully pun menyarankan investor bisa mencermati saham ANTM dengan target harga Rp 3.300 per saham.
Arinda melihat, situasi dan kondisi pasar masih belum kondusif, sehingga para pelaku pasar masih meraba-raba. Hal itu tak lepas dari konflik geopolitik di Timur Tengah.
Namun, ada catatan penting bahwa sempat terdengar wacana gencatan senjata yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump) dalam konflik Iran-Israel.
"Di sisi lain, indeks ini masih memiliki prospek yang bagus. Sebab, emiten berkapitalisasi pasar besar, seperti BBCA, TPIA, dan AMMN kompak mencatatkan penguatan," paparnya.
Arinda pun merekomendasikan beli untuk TPIA dan AMMN dengan target harga masing-masing Rp 10.625 per saham dan Rp 8.650 per saham.
Ekky melihat, mayoritas emiten konstituen Kompas100 di kuartal II 2025 masih menghadapi tekanan akibat ketidakpastian global, terutama terkait arah suku bunga The Fed, gejolak geopolitik, serta efek lanjutan dari perlambatan ekonomi.
Namun, memasuki paruh kedua 2025, ada peluang rotasi sektor. Terutama, jika tensi geopolitik mulai mereda dan Bank Indonesia (BI) mulai memberi sinyal penurunan suku bunga. "Dalam kondisi tersebut, sektor-sektor seperti energi, infrastruktur, logistik, logam mulia, dan komoditas berpeluang menjadi penggerak utama indeks," ungkapnya.
Sementara, sektor perbankan dan konsumer berpotensi masih tertahan jika daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Emiten-emiten dengan fundamental kuat, terutama emiten BUMN dan sektor komoditas, bisa menjadi penopang indeks Kompas100 di semester kedua.
Sedangkan sektor teknologi dan e-commerce masih berisiko tertekan karena valuasi tinggi dan tantangan arus kas. Saham emiten batubara, seperti ITMG, UNTR, dan ADMR, juga belum terlalu direspons secara maksimal oleh pasar, meskipun harga batu bara global mulai membaik.
Di sisi lain, sektor properti juga menarik perhatian karena berada di titik harga rendah dan memiliki potensi pemulihan jika suku bunga turun. Sektor nikel juga masih memiliki prospek jangka menengah seiring keberlanjutan program hilirisasi pemerintah.
"Sektor perbankan tetap menjadi salah satu pilar utama IHSG dalam jangka panjang," paparnya.
Ekky menilai, saham konstiten Kompas100 yang menarik untuk dicermati adalah UNTR, ITMG, SMRA, dan BRIS. Untuk UNTR, berpotensi ke level Rp 26.500 per saham, ITMG bisa menuju Rp 26.000 per saham, dan SMRA untuk jangka menengah panjang bisa ke atas Rp 500 per saham.
"BRIS berpotensi menuju Rp 3.000 - Rp 3.200 per saham jika tren pemulihan sektoral terjadi di semester kedua," katanya.
Selanjutnya: Hati-hati, Pemburukan Kualitas Kredit Perbankan Bisa Berlanjut pada Semester II
Menarik Dibaca: Musim Liburan, Gangguan Perjalanan Whoosh Akibat Layang-Layang Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News