Reporter: Ruisa Khoiriyah, Narita Indrastiti, Harry Febrian | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Krisis utang di kawasan Eropa yang jauh dari kata tuntas, memelorotkan imbal hasil berbagai instrumen investasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah tergerus 5,7% dari posisi tertingginya di tahun ini, 4.224, yang terjadi 3 Maret, menjadi 3.984,87, per Kamis (24/5).
Indeks Surat Utang Negara (SUN) turun 8,53% ke posisi 106,53 dari level tertinggi di 116,47 (9/2). Harga emas juga loyo, tergerus 12,2% dari rekor tertinggi tahun ini menjadi US$ 1.572 per troy ounce.
Rerata return reksadana saham satu bulan terakhir juga ambles 5,03%. Sedangkan return reksadana fixed income melorot 3,5%. Pendek kata, semua instrumen investasi sedang melempem.
Di tengah situasi demikian ditambah masih belum jelasnya ujung krisis Eropa, investor dituntut untuk tetap fokus pada tujuan investasinya agar bisa merespon dengan tepat.
"Lakukan assessment terhadap kinerja portofolio. Jika memang situasi saat ini mempengaruhi tujuan investasi, mungkin perlu juga ada menata ulang porsi aset," ujar Putut E. Andanawarih, Direktur Manulife Asset Management Indonesia, Kamis (24/5).
Jika penurunan nilai saham lebih karena tekanan sentimen pasar, dan bukan fundamental emiten, investor sejatinya tidak perlu panik menjual. "Kalau valuasinya masih murah dan harga sedang turun, ya seharusnya malah membeli," tutur Putut.
Diversifikasi aset untuk menyebar risiko adalah kunci agar berinvestasi bisa dilakukan dengan nyaman. "Sebar semua di saham, reksadana, juga deposito dengan porsi sesuai profil risiko anda," saran Vivian Secakusuma, Presiden Direktur BNP Paribas Investment Partners.
Pertahankan saham
Di tengah turbulensi pasar, menahan agresifitas di aset berisiko sembari memperbanyak aset di instrumen berisiko moderat bisa ditempuh. "Porsi aset di saham dan instrumen pasar uang perlu diseimbangkan," kata Idhamsyah Runizam, Direktur Utama BNI Asset Management.
Reksadana pendapatan tetap dan terproteksi juga bisa jadi pilihan mengamankan aset untuk jangka pendek. "Portofolio saham tak perlu dikurangi, sedangkan obligasi bisa dialihkan ke pasar uang untuk jangka pendek," saran Edward P. Lubis, Direktur Utama Bahana TCW Investment Management.
Sedang prospek obligasi, kini, kurang menarik. Di saat laju inflasi ancang-ancang berlari semakin kencang, maka dana sebaiknya dipertahankan di saham sebagai investasi jangka panjang.
Fadlul Imansyah, Vice President of Investment CIMB Principal Asset Management, menilai, kondisi pasar yang sedang lesu merupakan saat menurunkan risiko melalui average down. Inti strategi ini adalah membeli saham yang sama di harga yang lebih murah, hingga harga rata-rata pembelian menurun.
Parto Kawito, Direktur Infovesta Utama, menambahkan, untuk tujuan investasi 1-2 tahun ke depan, porsi saham bisa dipertahankan sebesar 60%.
Sisanya, di pasar uang dan properti. Sedangkan untuk jangka panjang, porsi 80% di saham masih aman. Sebagai bemper, investor bisa menempatkan sisa dana di emas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News