kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti strategi taksi konvensional


Senin, 28 Maret 2016 / 07:21 WIB
Menanti strategi taksi konvensional


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pertengahan pekan lalu, Jakarta setengah lumpuh akibat aksi demo para supir taksi. Para supir memprotes keberadaan sejumlah aplikasi transportasi online, seperti Grab, Uber, Go-Jek, dan berbagai aplikasi transportasi online lain.

Para supir menilai, keberadaan aplikasi ini menekan pemasukannya. Jika pendapatan supir berkurang, otomatis pendapatan bagi perusahaan pun berkurang.

Thennesia Debora, Analis BNI Securities, membenarkan hal ini. "Yang paling besar terkena dampak negatifnya itu Taksi Express," ujar Thennesia kepada KONTAN akhir pekan lalu.

Sejatinya, PT Express Trasindo Utama Tbk (TAXI) juga menggunakan Grabtaxi untuk memudahkan para pelanggan memesan taksi. Tapi, dalam kerja sama ini tidak ada perjanjian share keuntungan antara Grabtaxi dengan TAXI.

Tapi dari sini masih terlihat adanya sedikit keuntungan. Sebab, frekuensi pemesanan armada taksi yang dimiliki TAXI meningkat. Masalahnya, TAXI menerapkan tarif bawah untuk layanan taksi.

Sistem kemitraan yang diterapkan juga justru menjadi hambatan bagi TAXI guna menangkap tambahan pemasukan akibat dari kenaikan frekuensi itu. "Jadi, karena sistem kemitraan dan tarif bawah itu TAXI tidak memperoleh keuntungan yang lebih besar dari kerja sama tersebut," tambah Thennesia.

Tekanan dari transportasi berbasis online pada kinerja TAXI memang sudah terlihat, bahkan sejak Go-Jek ngetop. Pertumbuhan Go-Jek amat pesat, dari hanya 1.000 armada pada 2014 menjadi 3.000 armada pada April 2015.

Tetapi, pendapatan TAXI justru bergerak sebaliknya. Antara periode kuartal I-2015 dan kuartal II-2015 sebenarnya TAXI masih bisa mencetak kenaikan pendapatan sekitar 6% dari Rp 247,09 miliar menjadi Rp 263,3 miliar. Tapi pada kuartal III-2015, pendapatannya turun hampir 20% menjadi Rp 211,01 miliar.

Lain TAXI, lain pula PT Blue Bird Tbk (BIRD). Dari segi pangsa pasar, BIRD masih menjadi yang terbesar, antara 40%-50%. Besarnya pangsa pasar ini didukung oleh layanan ekslusif yang diberikan.

Pelayanan BIRD masih lebih bagus dan lebih premium ketimbang pesaing. Biasanya, justru nilai tambah inilah yang bisa membentuk komunitas pelanggan setia. "Ketika konsumen merasakan ada yang kurang dari yang lain, maka dia akan kembali ke pelayanan yang diberikan BIRD," jelas Thennesia.

Pendapat Analis Sucorinvest Central Gani Inav Haria Chandra juga setali tiga uang. Dia menilai, bagi BIRD, keberadaan aplikasi online bukan ancaman besar. Ada beberapa alasan yang mendasari ini.

Emiten taksi biru ini telah menggarap bisnis transportasi selama 40 tahun. Pelayanan BIRD juga masih terbaik. Selain itu, BIRD memiliki channel yang luas. Neraca keuangan BIRD juga terbilang sehat. BIRD mampu menjaga level margin laba operasi antara 20%–22%.

BIRD juga ekspansif dan cepat dalam menambah jangkauan bisnis di luar Jakarta. Soal teknologi, BIRD juga tidak gaptek. Manajemen menambah satu jabatan baru, yakni chief technology officer (CTO), guna mengembangkan aplikasi online.

"Semua kondisi ini menciptakan tembok yang besar yang bermanfaat untuk bersaing dengan Uber atau aplikasi online sejenis," tutur Inav dalam riset 24 Februari lalu.

Nah, soal aplikasi online, sebetulnya TAXI juga sudah punya aplikasi bernama My Trip. Tapi, pamor aplikasi ini masih kurang tenar. Konsumen tentu ingin naik kendaraan umum yang nyaman tapi juga murah. Nah, perusahaan taksi jarang menawarkan promo seperti halnya aplikasi transportasi online.

"Waktu itu sempat ada jeda promo yang cukup panjang dari aplikasi transportasi online, pada saat itu konsumen kembali ke taksi konvensional," sebut Thennesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×