Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan akan mematok harga eceran tertinggi (HET) daging dan telur ayam. Hal ini dinilai akan mempengaruhi kinerja emiten poultry.
Adeline Solaiman, Analis Danareksa Sekuritas, mengatakan, jika harga ditetapkan Rp 18.000 per kilogram, dalam jangka pendek dampaknya masih positif. Sebab, saat ini harga ayam dari produsen ke ritel masih di bawah Rp 18.000.
Sedangkan harga yang ada di pasar, berbeda dengan harga produsen. "Jadi pemerintah mau memberikan harga referensi minimal Rp 18.000, dalam jangka pendek masih positif," ujar dia kepada Kontan.co.id, kemarin.
Menurut dia, net selling price tersebut masih belum tercapai. Untuk itu, pemerintah perlu menstabilkan harga, mengatur oversupply dan menjaga pasokan dan permintaan pada peternak maupun penjual. Namun, dalam jangka panjang, dampak pengaturan harga ini tidak menguntungkan emiten.
Pasalnya, jika harga tersebut tidak mengalami penyesuaian dalam jangka waktu lama, harga jual bersih tersebut akan tergerus oleh inflasi. Jadi, Adeline menilai aturan ini masih perlu digodok lagi.
Joni Wintarja, Analis NH Korindo Sekuritas, memperkirakan, penetapan harga referensi tersebut bisa jadi sentimen negatif. Pasalnya, saat ini saja sektor poultry sudah cukup tertekan. Harga saham pun juga sudah jenuh. "Emiten poultry marginnya tipis, hampir rugi, bahkan ada yang rugi," ujar dia.
Di antara beberapa emiten poultry, Joni merekomendasikan buy saham Japfa Comfeed (JPFA) dengan target harga Rp 1.740 dan saham Charoen Pokphand Indonesia (CPIN) di harga Rp 4.160. Adeline merekomendasikan buy JPFA dam CPIN dengan target Rp 1.650 dan Rp 3.100.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News