Reporter: Agus Triyono, Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Ruang gerak koruptor nampaknya kian terbatas! Pemerintah baru saja merilis Peraturan Pemerintah (PP) No 43/2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir Juni ini memperluas kewajiban lapor atas transaksi keuangan yang mencurigakan. Yakni: pertama untuk penyedia jasa keuangan seperti bank, multifinance, dana pensiun, hingga perusahaan pengiriman uang. Mereka semua wajib lapor bila ada mencium transaksi keuangan yang mencurigakan ke Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK)
Kedua, penyedia barang atau jasa juga wajib lapor ke PPATK. Mereka yang termasuk kategori ini adalah pengembang properti, diler kendaraan bermotor, toko-toko emas dan permata hingga balai-balai lelang. Ketiga adalah penyedia keuangan jasa keuangan lainnya seperti modal ventura, koperasi hingga lembaga pembiayaan ekspor.
Terakhir adalah para profesional seperti advokat, notaris, akuntan hingga perencana keuangan. (Lihat tabel). Ada lima transaksi yang harus dilaporkan oleh para profesional ini: pembelian dan penjualan properti, pengelolaan uang dan jasa keuangan lainnya, pengelolaan rekening, pengoperasian dan pengelolaan perusahaan, serta pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.
Agus Santoso, Wakil Kepala PPATK mengklaim, kewajiban ini diperluas untuk melindungi pelaku usaha dari praktik kejahatan pencucian uang. "Dengan jadi pelapor, pelaku usaha atau profesi harus mengenali profil pengguna jasa atau pembeli produknya. Kalau ada yang mencurigakan bisa cepat dilaporkan," katanya, Senin (6/7).
PPATK melihat, belakangan, tren pergeseran modus operandi praktik tindak pidana pencucian uang dengan menyamarkan harta benda. Agar tak terdeteksi aparat hukum, pelaku kerap menggunakan jasa profesional jasa untuk ikut terlibat, menyimpan hingga mengamankan dana hasil korupsi. Fakta memberikan bukti, profesional jasa tak sedikit yang tersangkut tindak kejahatan pencucian uang (lihat tabel).
Agus bilang, sanksi untuk profesional yang ogah melaporkan transaksi mencurigakan akan disepakati oleh asosiasi profesi. Adapun, "Sanksi untuk lembaha keuangan dan lainnya, akan diaturan oleh otoritas," ujar Agus.
Meluasnya kewajiban lapor sektor penyedia jasa keuangan, barang dan jasa lantaran potensi korupsi yang dilakukan penyelenggara negara terus naik. Data PPATK menyebut, korupsoi penyelengga negara tahun 2014 mencapai Rp 1.792 triliun. Angka itu dari transaksi mencurigakan dan transaksi tunai yang terkait rekening bank milik penyelenggara negara. Adapun, Dana Moneter Internasional mencatat, potensi pencucian uang di Indonesia bisa 2%-5% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun atau sebanyak 527 triliun.
Florianus, seorang advokat menilai, pemerintah perlu memperjelas lebih detail lima jenis transaksi yang wajib dilaporkan ke PPATK dalam peraturan teknis. Salah satunya menyangkut sanksi. Adapun Eko Endarto, Perencana Keuangan dari Finansia Consulting bilang, profesinya tak bersentuhan dengan transaksi langsung. "Perencana keuangan independen, hanya memberi saran. Nasabah sendiri yang bertransaksi," kata Eko.
Fenny Widjaja, Presiden Komisaris Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia minta industri dilibatkan dalam penyusunan detail laporan transaksi. "Jika tak dilibatkan, laporannya akan beda dan menyulitkan industri,"ujar Fenny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













