kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Macan Asia mengaum memanggil investor


Rabu, 10 April 2013 / 14:21 WIB
Macan Asia mengaum memanggil investor
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, negara maju tidak menepati janji membantu US$ 100 miliar untuk tangani perubahan iklim.


Reporter: Anastasia Lilin Y, Harris Hadinata, Arief Ardiansyah | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Masih ingatkah Anda pada dekade 1990-an ketika Indonesia digadang-gadang bakal menjadi salah satu “macan asia”. Julukan itu memang tidak eksklusif bagi Indonesia seorang. Harapan kebangkitan Asia kala itu juga diletakkan pada pundak tiga negara lain: China, India, dan Korea Selatan.

Meski mendapat julukan sama, selepas krisis 1998–1999, nasib berkata lain. Ketiga negara selain Indonesia tersebut benar-benar telah menjelma menjadi Macan Asia. Tengok saja China dan India yang kini menjadi negara industri manufaktur yang harus dipandang penuh perhatian. Dua negara ini bahkan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap naik-turun serapan komoditas dunia seperti batubara, emas, dan tembaga. Tak kalah dengan mereka, prestasi Korea Selatan juga mengagumkan. Industri otomotif, elektronika, dan gadget negara ini maju pesat.

Indonesia? Andai seekor macan lahir dari sebutir telur, negeri kita ibarat embrio macan yang tak kunjung mampu memecah kulit telur. Selama sepuluh tahun sejak mentas dari krisis moneter, perekonomian reformasi kita jalan di tempat.

Baru, saat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa dilanda krisis hebat, Indonesia kembali ketiban sanjung-puji betubitubi. Maklum, ketika virus krisis menghantui Eropa dan AS, warna nilai rapor ekonomi Indonesia justru biru terang benderang. Pertumbuhan ekonomi pada 2011 mencapai 6,5%. Tahun lalu (2012) ekonomi masih mampu tumbuh 6,23%.

Sanjung-puji juga hadir dalam wujud riset dan analisis sejumlah pihak. Kesimpulan mereka serupa: Indonesia sedang dalam performa terbaik dan berpotensi memiliki masa depan cerah. Riset McKinsey Company pada September tahun 2012 lalu, ambil contoh, memproyeksikan Indonesia bakal masuk kelompok tujuh besar ekonomi dunia, alias menyalip negara maju sekali pun, termasuk Jerman dan Inggris.

Riset McKinsey menyebutkan Indonesia memiliki proposisi menarik karena dalam 20 tahun terakhir karena produktivitas tenaga kerja meningkat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri mendapat sokongan dari konsumsi nasional, bukan dari ekspor atau manufaktur. Ini adalah buah dari pertumbuhan penduduk yang memang besar. Karena itu, masuk akal jika Indonesia seperti tak terganggu dengan carut-marut kondisi Eropa.

Awal Maret 2013 silam, periset lain yakni The Boston Consulting Group meneropong bahwa Indonesia berada dalam tahap awal dari periode pertumbuhan ekonomi yang kuat. Ini dipicu oleh populasi yang tinggi dengan penduduk usia produktif yang gemuk, iklim politik stabil dan permintaan domestik besar.


Return investasi masih lumayan seksi


Manulife Financial melalui riset yang menghasilkan Manulife Investor Sentiment Index (MISI) yakin bahwa tingkat optimisme investor Indonesia paling tinggi karena tertopang oleh makro ekonomi yang positif. Namun, jelas, kondisi makro bukan satu-satunya alasan para investor di Indonesia begitu percaya diri menyemai modal. Tingkat imbal hasil investasi di negeri ini bisa jadi punya andil kuat melahirkan optimisme tersebut.

Nah, untuk memudahkan perbandingan imbal hasil investasi, KONTAN menyajikan tiga data return investasi dari tiga jenis instrumen investasi yang berbeda. Dua data, tingkat pertumbuhan indeks saham dan imbal hasil (yield) surat utang 10 tahun mengacu data Bloomberg. Sementara data mengenai
pertumbuhan harga properti mengutip data lembaga riset Knight Frank.

Negara yang jadi pembanding menyesuaikan negara dalam survei Manulife Financial.


Obligasi

Tingkat keuntungan yang ditawarkan Indonesia dari investasi surat utang terbilang cukupmenarik, yakni sebesar 5,46% per tahun, masih di atas suku bunga acuan. Meski demikian, tingkat keuntungan tersebut bukan yang terbaik. Yield obligasi sempat mencapai dua digit alias lebih dari 10%. Tinggi-rendah yield ini biasa berubah menyesuaikan bunga acuan.

Negara lain yang sebenarnya juga masih memberikan suku bunga cukup tinggi adalah China. Negeri Tirai Bambu ini hanya “berani” mengganjar investor surat utang dengan yield sebesar 3,57% saja. Alias ada gap 200 basis poin lebih.

Yield surat utang yang masih manis di Tanah Air tak urung memikat minat investor asing. Dari periode 3 April 2013 ditarik setahun ke belakang hingga 3 April 2012, jumlah kepemilikan asing di surat utang negara meningkat 24,39% menjadi Rp 280,33 triliun.

Roy Sembel, Guru Besar Ekonomi Keuangan IPMI International Business School mengatakan, kalau investor tak puas dengan yield obligasi yang tak atraktif, bisa melirik obligasi korporasi. Dia memprediksi obligasi korporasi masih bisa memberikan yield 2%–3% lebih tinggi dari yield obligasi milik pemerintah. “Tahun ini masih mungkin mencapai 8%–19%,” tutur Roy.

Namun bagi Anda yang belum terlampau paham, tingkat risiko berinvestasi di obligasi korporasi lebih tinggi, lo, ketimbang obligasi pemerintah. Sebab tak ada jaminan bagi obligasi korporasi sehingga investor berhadapan pada risiko gagal bayar.


Saham

Di antara enam negara Asia lain dan dua negara maju yakni Kanada dan Amerika Serikat, pertumbuhan indeks saham di Indonesia juga bisa dibanggakan. Selama periode 3 April 2012 hingga 3 April 2013, indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat 18,17%, menempati posisi kedua setelah Jepang yang mencatat pertumbuhan 23%.

Roy optimistis dalam waktu dua hingga tiga dekade mendatang, IHSG masih bisa mencatatkan pertumbuhan double digit. Berbeda dengan bursa saham negara maju yang menurut dia akan lebih susah mencatat pertumbuhan atraktif.

Hanya saja, bukan berarti IHSG tak punya risiko. Masih menurut Roy, karakter IHSG yang semakin “mengglobal” menyebabkan bursa juga masih mungkin terkena sentimen dari segala gejolak dunia.

Direktur Sucorinvest PT Asset Management Christian Hermawan mewanti-wanti soal risiko kepemilikan asing di pasar modal. Jika sewaktu-waktu mereka menarik dana dari ini, pasti bakal berefek negatif pada pasar saham di dalam negeri. “Ditarik bukan selalu karena kondisi Indonsia buruk, tapi bisa juga karena mereka butuh uang,” tutur Christian.

Kekhawatiran Christian cukup beralasan. Sebenarnya ada cara untuk meminimalisasi goncangan akibat tarikan dana asing yang mungkin terjadi, yakni membesarkan dana kelolaan dari investor dalam negeri. Sekadar informasi, jika menilik data pasar modal pada 2 April 2013 kemarin, porsi asing di hotmoney US$ 2.012,038 atau tumbuh 70,78% dibandingkan 2 April 2012.


Properti

Sepertinya tak salah jika properti mendapat julukan investmen darling. Sebab sejak dua hingga tiga tahun ke belakang, instrumen investasi ini menjadi buruan banyak investor. Fenomena ini bahkan tak hanya dirasakan di dalam negeri, medio Maret kemarin Bank Dunia melansir laporan bertajuk Economic Quarterly.

Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyatakan properti Indonesia bisa berisiko mengalami bubble. Indikatornya, telah terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang tahun 2012, terutama di sektor kondominium, ritel, perkantoran, serta kawasan industri di Jakarta.

Namun para pengamat properti kompak mengatakan Indonesia masih jauh dari bubble properti. Arief N. Rahardjo, Head of Research & Advisory PT Cushman & Wakefield Indonesi bilang, harga properti di Indonesia masih akan tumbuh dibanding negara lain, sebab harga jual awal di sini memang paling rendah. “Kondisi di sini mirip dengan Malaysia dan Filipina,” kata Arief.

Karena itu Arief yakin harga properti di Indonesia masih bisa naik. Asal, harap diingat, pertumbuhan ekonomi stabil dan tidak mengalami krisis seperti peristiwa 1997–1998. Pada masa krisis moneter itu, harga properti sempat turun.

Hasan Pamudji, Associate Director Knight Frank-Indonesia mencermati tentang prospek investasi properti di kota-kota besar. Dia yakin investasi di kota-kota besar akan terus meningkat seiring perubahan status sebuah kota menjadi kota global. Dia mencontohkan Singapura. Meski harga properti sudah mahal dan pajak properti juga tinggi, orang tetap berupaya masuk ke Singapura. “Tidak ada Singapura kedua, sehingga menjadi incaran,” kata Hasan.

Meski masih bisa melihat prospek pertumbuhan, Associate Director Investment Services Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi mengatakan investasi properti sebenarnya tidak segampang yang dipikirkan. Saran dia, investor haru melakukan riset sebelum memilih sebuah properti sebagai investasi. “Kenaikan harga properti di Kelapa Gading tak lantas menaikkan harga properti di Pulomas atau Cempak Putih, bukan?” tandas Aldi.

Jelas, kan, investor di Indonesia sangat rasional?


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28  - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×