Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana melonggarkan batas minimum uang muka alias loan to value (LTV) pembiayaan pembelian properti di bank syariah. Mulya E. Siregar, Deputi Komisioner Bidang Pengaturan Perbankan OJK, mengatakan, aturan minimum uang muka alias down payment di kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan kendaraan bermotor (KKB) di bank syariah akan lebih longgar ketimbang kewajiban minimum LTV di bank konvensional.
OJK ingin memacu pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Pada KPR, rencana OJK ini hanya berlaku kredit rumah pertama dan dimanfaatkan sebagai tempat tinggal. Sedangkan, uang muka rumah kedua dan selanjutnya masih berlaku sesuai aturan lama.
Meski masih belum pasti kapan waktu penerapannya, para analis menilai kebijakan ini masih bisa menjadi angin segar bagi industri properti domestik. "Aturan pelonggaran LTV ini akan berdampak positif," ungkap Analis BNI Securities Thendra Crisnanda.
Maklum, salah satu faktor yang menekan industri properti adalah kebijakan LTV yang dirilis pada 2012-2013. Saat itu, muncul aturan pembatasan uang muka sebesar 30% untuk rumah pertama dan 40% untuk rumah kedua.
Efek yang timbul, kredit properti melambat dan pendapatan prapenjualan atau marketing sales emiten properti cenderung stagnan. Masih akan melambat Natalia Sutanto, Analis Indo Premier Securities dalam riset 9 April 2015 menyebutkan dua tahun terakhir marketing sales perusahaan properti cenderung stagnan.
Pertama, ini karena pelaksanaan kebijakan LTV di kuartal III-2014. Kedua, ada Pemilu sehingga penjualan di semester I-2014 melambat. Para analis berharap dengan pelonggaran LTV kredit properti bisa meningkatkan permintaan properti dalam negeri ke depannya.
Tahun ini, Natalia berharap, perusahan properti dapat membukukan pertumbuhan marketing sales 15% year on year menjadi Rp 43,9 triliun. Thendra menambahkan, perusahaan properti yang akan merasakan dampak dari kebijakan ini adalah yang mempunyai fokus di proyek perumahan dan apartemen. "Seperti PT Bumi Serpong Damai TBk (BSDE), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA)," kata dia kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Sementara Analis Bahana Securities Robin Sutanto berpendapat, kebijakan ini justru tak berdampak signifikan. Kebijakan ini tampaknya akan berlaku pada rumah tipe menengah dan kecil. Yakni dengan luas bangunan di bawah 70 m². Robin memprediksi, perusahaan yang akan merasakan efek positif adalah PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dan BSDE. "Sebab keduanya banyak memiliki proyek rumah dengan luas bangunan di bawah 70 m²," tutur dia.
Meski begitu, tahun ini industri properti masih akan melambat. Ini karena pertumbuhan ekonomi domestik yang di bawah perkiraan, realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang terlambat dan regulasi pemerintah. Salah satunya regulasi tersebut adalah rencana Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) rumah mewah.
"Walaupun penerapannya mundur dari April 2015, kebijakan tersebut membuat para pembeli mengambil sikap wait and see sehingga menekan penjualan," ujar Robin. Selain itu, baik Robin dan Thendra berharap, di tahun ini Bank Indonesia dapat menurunkan tingkat suku bunga 25 basis poin (bps). Sehingga, dapat menggenjot penjualan properti.
Dengan kondisi tersebut para analis menilai, pengembang properti yang bisa bertahan adalah pengembang yang memiliki porsi recuring income atau pendapatan berulang besar. Sebab, dapat membantu kinerja emiten properti. Para analis sepakat, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) memiliki porsi recuring income besar, yakni 48%-50%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News