kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.383.000   23.000   0,97%
  • USD/IDR 16.617   -4,00   -0,02%
  • IDX 8.051   -15,35   -0,19%
  • KOMPAS100 1.106   2,18   0,20%
  • LQ45 772   0,26   0,03%
  • ISSI 289   -0,19   -0,07%
  • IDX30 404   0,55   0,14%
  • IDXHIDIV20 454   -1,30   -0,29%
  • IDX80 122   0,02   0,02%
  • IDXV30 130   -0,81   -0,62%
  • IDXQ30 128   0,67   0,53%

Lelang Pita Frekuensi 1,4 GHz Tuntas, Peta Industri Telekomunikasi Bakal Berubah


Rabu, 15 Oktober 2025 / 20:30 WIB
Lelang Pita Frekuensi 1,4 GHz Tuntas, Peta Industri Telekomunikasi Bakal Berubah
ILUSTRASI. Proses lelang harga pita frekuensi radio 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pitalebar (Broadband Wireless Access) telah berakhir. KONTAN/Fransiskus Simbolon/24/01/2018


Reporter: Yuliana Hema | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses lelang harga pita frekuensi radio 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pitalebar (Broadband Wireless Access) telah berakhir pada Rabu (15/10). Adapun proses lelang telah dimulai pada 13 Oktober 2025. 

Berdasarkan surat Pengumuman Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), PT Telemedia Komunikasi Pratama anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) menduduki peringkat pertama di regional I di harga Rp 403,76 miliar. 

PT Eka Mas Republik atau MyRepublic juga menduduki peringkat pertama untuk regional II di harga Rp 300,88. Entitas Grup Sinarmas ini juga menjadi peringkat satu di regional III dengan harga penawaran Rp 100,88 miliar. 

Baca Juga: Ada 7 Perusahaan Ikut Lelang 1,4 Ghz, Apa Saja Tantangannya?

Regional I meliputi Pulau Jawa, Papua dan Maluku. Sementara Regional II terdiri dari Pulau Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara. Terakhir, Komdigi memasukan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi ke dalam Regional III. 

Direktur Eksekutif Indonesia ITC Institute Heru Sutadi menilai hasil lelang frekuensi 1,4 GHz cukup mengejutkan karena PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) tidak sama sekali memenangkan regional manapun. 

“Ini bisa menjadi mengubah peta industri telekomunikasi Indonesia karena membuka peluang kompetisi lebih sehat di luar pemain besar seperti Telkom,” jelasnya saat dihubungi Kontan, Rabu (15/10). 

Dia mencermati dari sisi bisnis, WIFI dan MyRepublic harus mengeluarkan biaya lelang ratusan miliar per regional ditambah belanja modal alias capital expenditure (capex) untuk membangun infrastruktur. 

Sedangkan, frekuensi ini ditargetkan untuk BWA dengan kecepatan minimal 100 Mbps yang terjangkau dengan harga di rencana awal berkisar Rp 50.000 per bulan sampai dengan Rp 100.000 setiap bulannya. 

Baca Juga: Lelang Frekuensi 1,4 GHz Dibuka, Pemerintah Perluas Akses Internet Pita Lebar

“Untuk menutup biaya bisa mungkin bisa, kalau kedua perusahaan itu efisien, membuat skala pelanggan massal dan kolaborasi dengan perusahaan. penyedia internet lainnya,” ucap Heru.

Namun dia menyoroti, ada risiko yang datang. Kalau permintaan rendah di luar kota besar, kedua perusahaan itu harus fokus pada volume yang tinggi dan layanan tambahan seperti paket TV atau enterprise untuk profit.  

Potensi Perang Harga

Heru juga menilai potensi terjadinya perang harga sangat terbuka lebar. Menurutnya, spektrum baru ini bakal tambah kompetisi di fixed broadband, terutama dengan TLKM yang kalah tapi masih dominan. 

“Sudah ada tanda-tanda sekarang, di mana industri internet Indonesia lagi panas dengan 60% perusahaan penyedia internet berebut pasar sama, membuat harga semakin liar dan agresif untuk rebut pelanggan,” katanya. 

Dia memproyeksikan, setelah implementasi di sekitar 2025–2026, persaingan harga akan lebih insentif. Namun sisi positifnya, konsumen bisa mendapatkan keuntungan karena harga turun, tapi pemerintah harus tetap mengatur agar kondusif. 

Dosen Teknik Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung Ian Joseph menilai harga Rp 100.000 per bulan untuk kecepatan 100 Mbps masih akan diterima masyarakat yang tinggal di Jawa dan kota besar. 

“Karena tetap saja perlu kerja sama dengan pemilik backbone optik. Sementara untuk luar jawa sangat sulit untuk dipenuhi internet murah untuk saat ini,” jelasnya. 

Baca Juga: Serat Optik Imbangi Bisnis Menara Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL)

Dia mencermati, saat ini price sensitive memang ada dan hanya tidak nomor satu. Namun yang mencari nomor satu adalah ketersediaan, kestabilan jaringan dan kecepatan yang seperti ditawarkan para perusahaan. 

Namun Ian menilai, siapapun pemenangnya tetap bergantung pada pemilik jaringan terbesar di Indonesia yaitu TLKM. Dia mengingatkan jangan sampai mengulangi kejadian operator BWA yang sebelumnya berdasarkan regional. 

“Siapapun pemenangnya harus kerja sama dengan operator seluler yang sudah memiliki menara, power system, radio dan lainnya yang bisa dibilang capex-nya sudah tidak besar,” ucapnya.

Dia juga menyoroti pembangunan harus seimbang antara daerah yang layak secara bisnis dan juga daerah lainnya karena jiwa lelang ini adalah pemerataan dengan penyediaan internet murah untuk semua lapisan masyarakat. 

Selanjutnya: Utang Pemerintah Global Diprediksi Sentuh 100% dari PDB Dunia pada 2029

Menarik Dibaca: IHSG Masih Rawan Koreksi, Cek Rekomendasi Saham MNC Sekuritas Kamis (16/10)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×