Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT Intiland Development Tbk (DILD) kian ekspansif di bisnis kawasan industri. Setelah memiliki Ngoro Industrial Park di Jawa Timur, DILD membidik lokasi bisnis lahan industri seluas 500 hektare di provinsi yang sama.
Proses saat ini masih dalam penjajakan dan pembebasan lahan. Untuk mengembangkan kawasan industri ini, DILD akan memakai belanja modal tahun depan. Tapi manajemen belum merinci berapa besar kebutuhan anggaran.
Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Yogi Surya Perdana menilai, DILD sudah lama ingin menambah lahan industri di Jawa Timur, setidaknya sejak tahun lalu. Namun, melihat kinerja di separuh pertama belum baik dan kondisi ekonomi tak stabil, perseroan menunda proses pengembangan lahan industri pada tahun ini.
"Setahu saya kondisi keuangannya belum bagus," kata Yogi kepada KONTAN, kemarin.
Manajemen juga sempat mengatakan penjualan kawasan industri di Jawa Timur ini dimulai setelah penjualan Ngoro Industrial Park tuntas. Sampai kini penjualan Ngoro Industrial Park sudah mencapai 82% dari total lahan 500 ha.
Belanja modal perusahaan tahun ini akan digunakan untuk mengembangkan proyek eksisting. Di proyek 1park Avenue di Gandaria Jakarta Selatan, misalnya, pra penjualannya belum memenuhi ekspektasi. Namun, DILD tak bisa menunda pembangunannya karena sudah memiliki komitmen.
Kondisi keuangan yang kurang baik menjadi penghalang DILD mengembangkan lahan industri baru. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini, total liabilitas DILD sebesar Rp 6 triliun, naik 9% dibandingkan akhir Desember 2015 senilai Rp 5,5 triliun.
Tapi liabilitas jangka pendeknya menyusut. Manajemen mungkin akan mencari utang bank untuk melunasi utang.
Analis Asjaya Indosurya Securities, William Surya Wijaya menilai, ekspansi lahan industri di Jawa Timur bisa menjadi sentimen positif bagi perusahaan. Namun dampaknya belum bisa terlihat langsung karena proses akuisisi, pembangunan dan penjualannya butuh waktu.
Sampai akhir tahun ini, William melihat sektor properti masih melambat akibat daya beli belum membaik. Selain itu, DILD lebih fokus di proyek high-rise building. Segmen ini mungkin nanti akan banyak dicari pasar.
"Meski ada dorongan pemerintah, daya beli masyarakat kelihatannya belum bagus," kata dia.
Sementara, Yogi berpendapat kebijakan atau stimulus yang dikeluarkan pemerintah dan Bank Indonesia untuk mendorong sektor properti seperti tax amnesty, pelonggaran LTV dan penurunan suku bunga belum berpengaruh ke DILD.
Ini lantaran proyek DILD cenderung menyasar segmen kelas menengah atas yang tak menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Meski begitu, DILD memiliki kualitas aset yang bagus dengan lokasi strategis.
"Cuma ya itu, karena high-rise harga menjadi mahal, imbasnya ke penjualan mereka yang melambat," jelas Yogi.
Dengan minimnya sentimen positif, Pefindo menurunkan rating DILD dari A plus ke A minus. Namun, prospek DILD masih bagus di tahun mendatang karena memiliki land bank yang cukup besar terutama di daerah Maja.
William merekomendasikan hold DILD dengan target Rp 620 per saham. Sementara analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu, merekomendasikan sell dengan target Rp 540.
Lydia Suwandi, analis RHB Securities, merekomendasikan buy dengan target Rp 675. Harga saham DILD kemarin turun 2,48% menjadi Rp 590 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News