Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Emiten batubara sepertinya masih akan terseok-seok sepanjang tahun ini. Hal ini lantaran harga batubara yang belum kunjung naik.
Ariyanto Kurniawan, analis Mandiri Sekuritas dalam riset tanggal 9 Maret 2015 menyebutkan, harga spot batubara di Newcastle turun menjadi US$ 70 per ton. Harga tersebut mendekati rata-rata US$ 71 per ton saat krisis keuangan tahun 2009. Kondisi tren penurunan harga ini sudah memasuki tahun keempat sekaligus menjadi siklus terpanjang sejak tahun 2007.
Ariyanto menilai, harga batubara akan segera mencapai titik terendahnya karena sudah hampir mencapai titik beban produksi perusahaan besar. Namun, Ariyanto tidak memprediksi adanya perbaikan yang tajam. Hal ini lantaran permintaan batubara masih lemah, sementara para pelaku besar kurang menerapkan disiplin suplai.
Menurut Ariyanto, inisiatif pemangkasan beban, termasuk negosiasi tarif dengan kontraktor tambang serta turunnya harga BBM akan menjadi faktor penting dalam menjaga profitabilitas. Namun, jika harga batubara tetap rendah, ada beberapa risiko, antara lain penurunan prediksi laba oleh konsensus, pemangkasan produksi, penurunan cadangan batubara, dan penurunan nilai aset.
Ariyanto menilai ada risiko pemangkasan produksi dan penurunan cadangan pada PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) karena rasio penyamakan tanah (stripping ratio) yang naik serta cadangan yang rendah. Kemudian, risiko penurunan nilai aset dapat terjadi pada PT Adaro Energy Tbk (ADRO) karena akuisisi yang agresif dalam tiga tahun terakhir. "Risiko dari penurunan prediksi laba dapat terjadi pada seluruh perusahaan batu bara jika harga batu bara masih berlanjut turun," lanjut Ariyanto.
Pemerintah masih berniat menaikkan pajak royalti untuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP) menjadi 7% dari pendapatan untuk batu bara kualitas rendah (dari sebelumnya 3%), 9% untuk kualitas menengah (dari 5%), dan 13,5% dari kualitas tinggi (dari 7%). Ariyanto memandang rencana itu bukan hal baru. Tapi, jika peraturan tersebut diterapkan secara tegas, konsolidasi industri akan berjalan lebih cepat. Sebab, sebagian besar pemilik IUP adalah pelaku industri kecil yang memiliki porsi produksi sebesar 30%.
PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) menjadi satu-satunya perusahaan dalam coverage Mandiri Sekuritas yang secara utuh akan terkena aturan tersebut. Dengan asumsi royalti sebesar 9% (vs prediksi 6,5%), Ariyanto memprediksi ada risiko penurunan prediksi laba tahun 2015 - 2016 hingga 18% untuk PTBA. Ariyanto memangkas prediksi laba bersih tahun 2015 - 2016 rata-rata 45% dengan memasukkan asumsi harga batu bara yang turun menjadi US$65-US$70/ton dari US$80/ton.
Ariyanto menurunkan rekomendasi ADRO menjadi neutral dari sebelumnya buy karena tidak melihat perbaikan besar pada prospek industri dalam waktu dekat. Kemudian rekomendasi neutral tetap disematkan pada ITMG, PTBA, dan HRUM. Untuk menaikkan rekomendasi, Ariyanto akan menunggu hingga ada perbaikan harga batubara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News