Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Tawaran kupon obligasi korporasi diperkirakan akan semakin menarik semester II ini. Analis memprediksi, kenaikan kupon seiring melonjaknya yield surat utang negara (SUN) yang menjadi acuan penerbitan obligasi korporasi.
Data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Jumat (21/8), menunjukkan rata-rata yield obligasi yang ditunjukkan oleh INDOBeX CompositeEffective Yield naik dari8,95% menjadi 9,07%. Rata-rata yield obligasi negara atauINDOBeX Goverment EffectiveYield naik dari 8,72% menjadi 8,84%.
Demikian juga dengan rata-rata yield obligasi korporasi atau INDOBeX Corporate Effective Yield tercatat naik, dari 10,29% menjadi 10,38% pada periode yang sama.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Roby Rushandie memperkirakan, yield SUN masih dibayangi sejumlah tekanan, seperti depresiasi rupiah, devaluasi yuan, rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), serta serapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang belum maksimal.
Tekanan di pasar SUN tentu akan merembet ke obligasi korporasi. Menurut Roby, tingkat kupon obligasi berdasarkan kisaran risk free yang diperoleh dari yield SUN. "Sehingga, apabila terdapat potensi kenaikan yield SUN di semester II, secara otomatis kupon obligasi korporasi terkerek," tutur Roby.
Selain itu, kupon ditetapkan berdasarkan risk premium atau imbal hasil tambahan yang diminta investor. Faktor ini dipengaruhi oleh kondisi industri dan masing-masing emiten yang biasanya tercermin dalam rating.
Kupon tinggi
Dalam waktu dekat, dua perusahaan sektor keuangan, yakni PT Mandiri Tunas Finance (MTF) serta PT Sarana Multigriya Financial (SMF) berencana menerbitkan obligasi dengan nilai total sekitar Rp 3 triliun.
Analis Fixed Income PT Samuel Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus mengatakan, bisnis kedua perusahaan tersebut tengah tertekan. Kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) mereka terancam naik akibat tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate yang mengerek kenaikan suku bunga pinjaman.
Di sisi lain, melemahnya daya beli masyarakat ikut mendorong sepinya penyaluran kredit. Akibatnya, bisnis perusahaan ikut lesu dan mendorong penurunan pendapatan. Kondisi ini menyebabkan obligasi menjadi kurang menarik sehingga investor akan meminta kupon tinggi.
Padahal saat ini, obligasi pemerintah terdepresiasi cukup dalam akibat krisis Yunani dan devaluasi yuan. "Tentu mendorong kedua perusahaan memberikan kupon lebih tinggi dari obligasi terbitan sebelumnya," imbuh Nico.
Kondisi ini dapat memicu emiten penerbit mencari alternatif pembiayaan lain berupa utang luar negeri. Namun risikonya jauh lebih besar jika perusahaan meminjam dalam bentuk dollar AS namun pendapatan dalam rupiah. Kupon obligasi korporasi dari awal tahun belum memperlihatkan tren kenaikan yang mencolok. Sebagai contoh, obligasi BRI bertenor 3 tahun dengan rating AAA yang dicatatkan pada 3 Juli 2015 memberi kupon 9,2%.
Sebelumnya, obligasi BCA dengan tenor dan rating yang sama terbit Maret 2015 memberi kupon 9%. Lalu obligasi Indonesia Eximbank dengan tenor dan rating yang sama dicatatkan 6 Januari 2015 memberi kupon 9,25%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News