Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di balik berbagai pencapaian penerbitan instrumen sukuk negara di Indonesia, masih ada sejumlah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Salah satunya, kontribusi sukuk negara yang masih rendah dari total penerbitan surat berharga negara (SBN)
Sebagai informasi, total akumulasi penerbitan sukuk negara melalui lelang, book building, dan private placement hingga Oktober telah mencapai lebih dari Rp 950 triliun atau setara US$ 63 miliar. Sedangkan outstanding sukuk negara per 25 Oktober 2018 telah mencapai Rp 657 triliun.
Kendati demikian, kontribusi outstanding instrumen ini faktanya baru mencapai 18% dari total SBN.
Research Analyst Capital Asset Management, Desmon Silitonga berpendapat, minat investor institusi terhadap sukuk negara belum terlalu besar hingga saat ini. Padahal, instrumen ini sebenarnya bisa dimiliki oleh institusi non syariah. “Jumlah investor asing pun sedikit di pasar sukuk negara,” tambahnya, hari ini.
Sementara untuk investor ritel, minat terhadap sukuk negara cukup tinggi berkat tawaran kupon yang menarik. Namun, investor ritel belum bisa berkontribusi besar untuk urusan volume penerbitan.
Padahal, suplai sukuk negara tidak bisa dibilang sedikit. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah telah menerbitkan tujuh jenis sukuk negara dengan berbagai macam tenor, ukuran, imbalan, dan basis investor.
Di antaranya adalah Surat Perbendaharaan Negara – Syariah (SPN-S), Project Based Sukuk (PBS), Sukuk Dana Haji (SDHI), Islamic Fixed Rate (IFR), Sukuk Negara Ritel (Sukri), Sukuk Negara Tabungan (ST), dan Sukuk Negara Indonesia (SNI) yang terbit di pasar internasional.
Masih rendahnya minat investor tercermin dari kelangsungan lelang sukuk negara dari waktu ke waktu. “Nilai penawaran yang masuk di lelang sukuk negara rata-rata hanya Rp 13 triliun,” ungkap Desmon, Kamis (1/11).
Terbatasnya jumlah investor sukuk negara mempengaruhi likuiditas instrumen ini di pasar sekunder. Hal ini juga mempengaruhi volatilitas harga dan yield sukuk negara di pasar sekunder, walaupun sentimen yang mempengaruhi instrumen tersebut tidak jauh berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN) konvensional.
Desmon pun menyampaikan, peningkatan jumlah permintaan dari investor institusi terhadap sukuk negara menjadi pekerjaan utama bagi pemerintah. Sebab, investor institusi menempati posisi yang cukup strategis mengingat kebutuhan investasi surat utangnya cukup tinggi. Pengetahuan investor institusi terhadap instrumen ini pun sudah cukup mumpuni.
“Bisa jadi ada kendala di struktur instrumen atau masalah intensif sehingga pemerintah dan investor institusi perlu membahas bersama,” terangnya.
Di kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyinggung bahwa segmen pasar keuangan syariah masih terbatas. Hal ini membuat volume penerbitan sukuk negara masih sulit menyaingi SUN konvensional walaupun mengalami pertumbuhan terus-menerus.
Padahal, potensi imbal hasil sukuk negara tidak kalah dibandingkan obligasi konvensional. Aset dasar sukuk negara juga tidak melulu proyek berbasis syariah. “Buktinya sudah ada beberapa infrastruktur jalan raya dan jalur kereta api yang dibiayai oleh sukuk negara,” imbuhnya.
Ke depan, penetrasi investor di berbagai wilayah dan berbagai kelompok usia masih menjadi fokus utama pemerintah dalam mengembangkan industri sukuk negara. Salah satu caranya dengan melibatkkan orang-orang berpengaruh atau influencer untuk mensosialisasikan lebih luas instrumen tersebut. “Peran influencer itu cukup penting dalam menarik minat investor baru,” kata Menkeu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News