kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Konsumsi masih tersendat, outlook emiten sektor konsumer masih netral


Minggu, 19 Agustus 2018 / 15:21 WIB
 Konsumsi masih tersendat, outlook emiten sektor konsumer masih netral
ILUSTRASI. Produk Dove dari Unilever


Reporter: Grace Olivia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Awan kelabu tampaknya masih menyelimuti emiten sektor konsumer di sepanjang tahun ini. Momentum Ramadan dan Lebaran tak serta merta mengangkat kinerja keuangan emiten-emiten di sektor ini, sehingga mayoritas cenderung bertumbuh hanya satu digit. Tingkat konsumsi masyarakat yang tak begitu menggeliat turut menekan kinerja emiten konsumer secara keseluruhan.

Sepanjang semester-I 2018, beberapa emiten konsumer bahkan gagal mencatat kenaikan laba. Di antaranya UNVR yang laba bersihnya turun 2% year-on-year (yoy) menjadi Rp 4,89 triliun, seiring dengan penurunan penjualan sebesar 0,3% yoy menjadi Rp 21,18 triliun. Sama halnya dengan INDF yang mencetak penurunan laba bersih 12,5% yoy menjadi Rp 1,96 triliun, sementara penjualannya hanya tumbuh tipis 0,9% yoy menjadi Rp 35,99 triliun.

Tak jauh berbeda dengan ICBP yang cuma mencetak pertumbuhan penjualan maupun laba bersih single digit. Penjualan ICBP naik 5,4% yoy menjadi Rp 19,46 triliun, sedangkan laba bersih tumbuh 9,5% yoy menjadi Rp 2,29 triliun. Hanya MYOR yang mampu membukukan kenaikan penjualan dan laba bersih hingga dua digit, yakni penjualan tumbuh 15,19% yoy menjadi Rp 10,82 triliun dan laba bersih tumbuh 34,32% yoy menjadi Rp 735,87 miliar.

Analis BCA Sekuritas Pandu Anugrah dalam risetnya 8 Agustus, mengatakan, pertumbuhan kinerja single digit diproyeksi masih akan berlanjut bagi emiten konsumer hingga tahun 2019. “Kami memperkirakan pertumbuhan pendapatan dasar (sektor konsumer) sekitar 5,4% selama 2018 sampai 2019 seiring dengan datarnya pertumbuhan volume penjualan,” terang Pandu.

Belum pulihnya tingkat konsumsi masyarakat menjadi salah satu faktor utama tersendatnya kinerja emiten di sektor konsumer.

Analis Mirae Asset Sekuritas Mangesti Diah Sulistiani, menjabarkan, sepanjang Juli terjadi penurunan indeks kepercayaan konsumen menjadi 124,8 poin dari 128,1 poin pada bulan sebelumnya. Menurutnya, penurunan indeks tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu melemahnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan melemahnya optimisme konsumen pada kondisi ekonomi ke depan.

Mangesti mencatat, indeks kondisi ekonomi saat ini sebesar 115 poin atau turun 4,8% dari bulan sebelumnya. Begitu juga dengan indeks ekspektasi konsumen yang turun 0,5% menjadi 134,7 poin.

Senada, Aditya Perdana Putra, analis Semesta Indovest juga berpendapat bahwa daya beli konsumen baru tampak membaik jelang akhir semester pertama. Selain itu, depresiasi nilai tukar makin membebani kinerja emiten.

“Segmen kelas menengah juga menahan konsumsi belanja dan lebih banyak menabung, sementara pelemahan rupiah dan naiknya harga minyak juga mempengaruhi biaya packaging dan naiknya bahan baku,” ujar Aditya, Jumat (17/8).

Outlook netral

Di kuartal-kuartal selanjutnya, Pandu memproyeksi pelemahan mata uang akan semakin memicu tekanan pada marjin emiten konsumer. Ia bahkan melihat ada peluang rupiah tertekan hingga Rp 15.000 sehingga mengakumulasi pelemahan sekitar 10,7% jika dihitung sejak awal tahun.

“Mengingat kemungkinan pertumbuhan volume penjualan satu digit dan melemahnya mata uang, kami memproyeksi EBIT CAGR sebesar 5,2% selama periode 2018-2020, dibandingkan 22,8% pada 2008-2012 silam,” ujar Pandu.

Adapun, Aditya menilai, prospek sektor konsumer ke depan tidak terlepas dari dua layer kelas masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong konsumsi, yakni kelas masyarakat bawah dan menengah. Menurutnya, di semester-I lalu, kelas masyarakat bawah cukup tertopang oleh bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan dan kartu indonesia pintar (KIP), juga tunjangan hari raya (PNS), dan harga listrik yang terkendali.

Namun, rangkaian tunjangan tersebut akan lebih lebih minim di semester kedua. “Katalis positif lebih kepada bagaimana pemerintah tetap mengatur harga listrik, BBM, dan pajak agar tidak naik, karena jika sebaliknya, daya beli bisa melemah. Di samping itu, belanja pemerintah baik untuk Asian Games dan Pra-Pemilu diharapkan bisa membantu consumer spending,” papar Aditya.

Ditilik per emiten, Aditya mengatakan, penurunan kinerja dari masing-masing emiten seperti INDF, UNVR dan ICBP disebabkan oleh kinerja segmen bisnis mereka yang lesu. Harga minyak mentak kelapa sawit (CPO) yang turun berimbas pada segmen bisnis agribisnis INDF sehingga tertekan. Begitu juga dengan penjualan lokal UNVR yang susut karena tergerus oleh pesaing.

Menurutnya, hanya MYOR yang mencatat kinerja positif sepanjang enam bulan pertama tahun ini. “Saya melihat MYOR akan melampaui capaian kinerjanya tahun lalu, sementara UNVR, ICBP dan INDF mengalami pertumbuhan pendapatan dan margin yang relatif flat dan menurun,” kata Aditya.

Aditya pun memberi rekomendasi akumulasi saham MYOR dengan target harga Rp 3.250 per saham.

Sementara, Pandu berharap emiten konsumer tetap mampu menaikkan harga secara bertahap tanpa mengurangi volume penjualan secara signifikan. Saat ini, ia menjadikan ICBP sebagai saham jagoannya di sektor konsumer. Ia memberi rekomendasi beli ICBP dengan target harga Rp 10.000 per saham.

Secara sektoral, Pandu menurunkan outlooknya terhadap sektor konsumer dari overweight menjadi neutral. “Investor hanya dapat memposisikan diri untuk jangka panjang karena pertumbuhan FMCG tampaknya masih akan lambat dalam jangka pendek,” imbuhnya.

Setali tiga uang, Aditya memberi outlook neutral untuk sektor konsumer untuk paruh kedua tahun ini mengingat beberapa saham blue chips mengalami penurunan kinerja dan tekanan margin di semester-I lalu. “Kinerja hingga akhir tahun akan ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang populis terhadap daya beli masyarakat.

Kestabilan rupiah dan inflasi yang terkendali adalah kunci di bagian makro, sementara strategi efisiensi biaya menjadi kunci untuk menjaga margin kotor dan operasional perusahaan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×