kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Komoditas energi tak bergigi


Senin, 03 Juli 2017 / 07:30 WIB
Komoditas energi tak bergigi


Reporter: Namira Daufina, Wuwun Nafsiah | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pada semester I-2017, harga komoditas energi cenderung merosot. Ancaman banjir pasokan serta rendahnya permintaan mengintai komoditas ini sepanjang paruh pertama tahun ini.

Tengok saja harga minyak. Harga emas hitam ini cenderung merosot. Di akhir bulan lalu (30/6), harga minyak WTI kontrak pengiriman Agustus 2017 di New York Mercantile Exchange memang menguat 2,47% ke US$ 46,04 per barel. Namun sejak akhir tahun lalu, minyak anjlok 19,08%.

Keperkasaan batubara juga mulai tergerus. Harga batubara kontrak pengiriman Agustus 2017 di ICE Futures Exchange melorot 0,39% jadi US$ 76,90 per ton Jumat lalu (30/6). Sejak akhir tahun 2016 harga sudah menukik 1,03%.

Serupa dengan dua komoditas tadi, harga gas alam pun turut melempem. Harga gas alam kontrak pengiriman Agustus 2017 di New York Mercantile Exchange akhir pekan lalu melemah 0,23% ke level US$ 3,04 per mmbtu dan terkoreksi sekitar 15,1% di semester I-2017.

Fluktuasi harga komoditas energi diprediksi terus terjadi hingga akhir tahun. Berikut ulasan prospek komoditas energi hingga akhir 2017.

- Minyak

Faktor utama yang menggerus harga minyak adalah kelebihan pasokan alias oversupply. Padahal produsen minyak anggota OPEC ditambah Rusia sudah bersepakat mengurangi produksi tahun ini.

Kebijakan ini sempat mendorong harga minyak naik ke level tertinggi sejak Juli 2015, yakni di US$ 57,4 per barel pada 6 Januari. Tetapi kenaikan harga sulit berlanjut karena Amerika Serikat (AS) meningkatkan produksi minyaknya.

Mei lalu, OPEC kembali memperpanjang pemangkasan produksi hingga 2018. Tetapi langkah ini gagal mengangkat harga. "Pasar berharap OPEC juga memperbesar kuota pemangkasan," lanjut Putu Agus Pransuamitra, Research & Analyst Monex Investindo Futures, kemarin.

Kekecewaan pasar pada OPEC menyeret minyak ke level harga terendah sejak Maret 2016, yakni di US$ 42,53 per barel, pada 21 Juni lalu.

Perkembangan kebijakan OPEC akan menjadi faktor utama penggerak harga minyak hingga akhir tahun. Di sisi lain, pasar juga akan mencermati laporan pasokan minyak mingguan AS dari Energy Information Administration (EIA). "Kisaran harga minyak hingga akhir tahun akan antara US$ 45-US$ 50 per barel," kata Putu menganalisa.

- Batubara

Terkikisnya harga minyak mentah internasional juga ikut menekan harga batubara. Apalagi, pada dasarnya permintaan batubara secara global saat ini memang cenderung berkurang.

Salah satu faktor yang membuat kebutuhan batubara turun adalah penggunaan energi biosurya sebagai pembangkit listrik. "Hal ini membuat harga batubara sulit menguat lagi menembus level US$ 80 per metrik ton," jelas Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures. Harga batubara malah menyentuh level terendah sejak Desember 2016 di US$ 71,95 per metrik ton 15 Mei lalu.

Tetapi koreksi harga akan terbatas karena permintaan India dan China masih tinggi. Impor batubara China di Januari-Mei 2017 naik 29,6% menjadi 111,68 juta ton dibanding periode sama tahun lalu. Kenaikan konsumsi serta pembatasan produksi China turut mendukung si hitam. Harga sempat menyentuh level tertinggi sejak November 2016 di US$ 81,9 pada 3 April.

Wahyu memperkirakan, hingga akhir tahun harga batubara akan bertahan di atas US$ 75 per metrik ton. "Nanti musim panas ini permintaan untuk pendingin ruangan naik, di akhir tahun permintaan pun secara historis ikut naik, maka bagus untuk harganya," tutur Wahyu.

- Gas alam

Direktur Utama Garuda Berjangka Ibrahim menjelaskan, ada dua faktor yang menekan harga gas alam. Pertama, kebutuhan gas alam untuk pemanas cenderung meningkat di awal tahun lantaran musim dingin. Tapi memasuki musim semi, konsumsinya menurun.

Kedua, ancaman penurunan konsumsi gas alam semakin besar setelah AS keluar dari kesepakatan iklim Paris. Padahal, kesepakatan iklim tersebut memasukkan komitmen untuk mengurangi penggunaan batubara sebagai tenaga pemanas. "Ini menguntungkan gas alam sebagai barang substitusi," ujar Ibrahim.

Gas alam mencatat harga tertinggi sejak Desember 2016 pada 12 Mei lalu. Ramalan cuaca di bawah normal mendukung penguatan harga. Dukungan lain datang dari melemahnya nilai tukar dollar AS lantaran isu pemakzulan Presiden Donald Trump.

Selanjutnya gas alam kembali tergerus seiring dengan berakhirnya musim dingin, hingga mencatat level terendah sejak November 2016 di US$ 2,915 pada 21 Juni.

Ibrahim optimistis harga gas alam bisa menguat lagi ke kisaran US$ 3,2-US$ 3,3 per mmbtu hingga akhir tahun. Permintaan akan naik memasuki musim dingin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×