kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Kita harus lebih forward looking dan berjaga-jaga


Senin, 08 Oktober 2018 / 08:25 WIB
Kita harus lebih forward looking dan berjaga-jaga


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi pasar global yang terus bergejolak membuat rupiah terus melemah dan terus menyeret pasar saham dan obligasi Indonesia. Sampai kapan pasar bergerak? Bagaimana investor bisa menyikapi kondisi ini? Berikut ini analisis Enrico Tanuwidjaja Head of Economic & Research Bank UOB Indonesia.

Bagaimana dalam kondisi sekarang yang mungkin “menakutkan” kita bisa riding the wave?

Memang kalau kita lihat dari situasi global, ini kan banyak dipicu dari trade war yang dimulai dari Amerika Serikat. Ditambah secara struktural memang Federal Reserve lagi menormalisasikan suku bunga mereka, dan ini berimbas kepada mata uang di negara-negara berkembang, terdepresiasi cukup signifikan. Hal ini membalikkan dana-dana dari negara-negara berkembang ke negara major atau negara maju yang bernama Amerika Serikat. 

Tapi kita harus lihat secara objektif ya, trade war ini sebenarnya dimulai secara individual dari Amerika melawan seluruh dunia terutama China. Nah saya melihatnya ini sebagai faktor siklus tidak akan permanen. Nah ini juga bagusnya adalah satu yang ngajak perang dengan negara-negara lain, yang lainnya kan bisa jadi teman. Jadi musuh dari musuh saya adalah teman saya. Jadi memang sudah banyak multilateral trade arrangement, seperti contohnya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) ini tidak ada Amerika. 

Dan ini menurut saya juga untungnya bukannya permintaan domestik yang melemah. Tapi memang ada faktor dari luarnya ini yang dari supply side dari Amerikanya ini yang berinisiasi, jadi istilahnya kalau ini dihilangkan ya sebenarnya kita baik-baik saja. 

Kedua kondisi moneter sekarang itu enggak semuanya ketat. Jadi kalau kita lihat di Eropa moneter policy-nya masih loose, di Jepang masih loose, di Inggris masih loos. Memang di Amerika itu kenapa banyak aset berbalik, ya karena mereka yang paling ketat jadi makanya mengalir ke sana. Itu kita lihat, tapi ya mungkin jangka waktunya hanya berkisar sampai 2020 atau 2021. Ini bukan selamanya dan makanya kita sebut dengan cyclical

Yang ketiga kalau kita lihat permintaan domestik dari negara-negara Asia terutama Indonesia, ini sebenarnya masih besar. Masih kuat untuk menjaga supaya momentum pertumbuhan kita tetap baik. Nah itulah, kita harus riding the wave-nya itu kita tidak stagnan, tapi bersifat progresif, tapi progresifnya harus ditekankan. 

Bukan melulu angka yang lebih tinggi tapi secara kualitatif sudah banyak kebijakan yang dikerjakan secara terkoordinasi, policy mix kalau Ibu Sri Mulyani bilang. Saya itu melihat Indonesia itu berpotensi sekali meraih  keberuntungan. Karena kita struktural reform-nya kuat, policy reform-nya jauh lebih efektif dari sebelumnya. Dan itu menunjukkan bahwa investor melihat Indonesia investment grade memang sudah sangat layak dan kita akan kembali ke Indonesia. Makanya problemnya kita harus lebih forward looking dan lebih terus berjaga-jaga.  

Artinya penurunan nilai asset-aset kita saat ini akan terus berlanjut?      

Kita tidak bisa menghindari tren global ini. Angin di luar sana apalagi pembalikan arus dana asing, memang masih kencang. Sampai kapan?  Kalau menurut saya ini masih belum selesai. Jadi penjualan obligasi, kita juga perlu terus menaikkan suku bunga. Itu  perlu menjaga perbedaan imbal hasil cukup menarik sehingga asing ini mau masuk kembali karena harganya bisa dibilang cukup kompetitif. 

Kalau masalah equity ini semua growth historic. Di mana ada pertumbuhan di sana aset ekuitas naik. Tetapi pertumbuhan tidak secepat dan setinggi yang diperkirakan. Jadi mungkin aset ekuitas, kecuali di Amerika Serikat, kelihatannya akan sulit pertumbuhan lebih cepat. Di Amerika Serikat pun mereka itu dikasih injeksi vitamin yang sementara. Contohnya apa, tax cut. Tapi nanti ke depannya harus ada yang bayar. 

Yang kedua dia proteksionis, dia melindungi beberapa industri berbasis lokal. Dia sengaja menaikkan tarif terhadap China. Ini kan sifatnya diberikan injeksi yang menolong, jadi memang kalau produktivitasnya naik, menurut saya juga tidak akan bisa sustainable. Karena underlying faktornya itu nih bukan struktural. Sedangkan di Indonesia, menurut saya perubahan ini yang dinamakan structural reform kalau terus berlanjut dan dilanjutkan dengan policy mix yang bagus. Kita akan menerima kualitas portfolio dan juga capital flow yang lebih baik. Ditambah memang kalau pasar modal ini diperdalam, contohnya menawarkan produk-produk yang lebih bervariatif tapi tetap terjaga dalam hal keamanannya. 

Kalau kita melihat rupiah yang melebihi Rp 15 ribu, apakah Anda melihat pelemahan ini sudah berlebih atau mungkin sesuai dengan nilai seharusnya?

Tingkat depresiasinya menurut saya sudah berlebih, overshooting. Karena memang fundamental kita betul masih ada current account deficit, tapi itu tidak berarti kita harus ke level selemah ini. Nah apa yang terjadi, ya itu dari trade war, fed rate hike yang notabene itu ketat. Nah ditambah sekarang ada risiko dari Italia akan breakup. Ini kan semuanya menyebabkan semua orang larinya ke dolar lagi. 

Dan semua akun yang dipegang biasanya secara langsung atau tidak itu ikut kejual. Jadi seolah-olah mereka itu pegangnya dolar saja. Makanya mungkin kalau kita bisa, cari alternatif, misalnya dengan partner dagang utama kita seperti misalnya RRT, Malaysia atau Thailand di mana kita itu cukup signifikan punya perdagangan, di mana kita bisa lakukan yang namanya local currency settlement. Sudah ada fasilitasnya, tapi ini masih berbentuk level government to government. Kita harus lebih menyosialisasikan dan mengundang orang bisnis untuk melihat bagaimana sih potensinya, siapa saja yang bisa. Nah ini kan berarti tidak membuat kita bergantung kepada US dolar saja. Mata uang kan kita itu banyak sebenarnya. Di mana yang penting bersedia dibayar dan dibayar dengan mata uang local currency, kalau dua-duanya fine ya tidak ada keperluan dolar. Jadi selain persepsi dan psikologis, justru  kondisi yang kurang baik seperti saat ini adalah waktu yang bagus untuk mengecek rumah kita nih, yang mana yang bocor. Terus yang mana yang agak retak-retak dikit ini kita tambal. Jadi kalau semua sudah ready kita welcome tamu, tamunya stay lebih lama.    

Lalu bagaimana Anda melihat peran ekonomi digital?

Kita ngomong secara fakta dulu. Kalau secara rasio dari GDP ini masih kecil di bawah 5%, tapi pertumbuhannya itu double digit. Jadi kecil-kecil cabe rawit, tapi tetap masih cabe rawit. Belum bisa berubah jadi tiba-tiba besar. 

Tapi yang dibutuhkan adalah mungkin enggak dia dipakai untuk menghubungkan sektor-sektor yang penting, yaitu sektor sekunder kita. Jadi dalam ekonomi kan ada sektor-sektor primer itu tambang dan komoditas, itu kita tidak bisa bergantung selamanya pada itu. Kita sudah lihat pada saat harga global commodity turun ya terdampaklah semua perekonomian kita. Kita tidak boleh begini. Kita diversifikasi ke sektor lini kedua, yaitu manufacturing dan industrialisasi. Kita belum rampung, padahal yang lain sudah ngomongin sektor lini ke 3 bahkan industrial revolution 4.0. Ini sebenarnya yang bagus juga kita memakai momentum rupiah menjadi kompetitif, nah ayo kita bangun sektor yang sebenarnya diuntungkan yang berbasis ekspor, bahkan bisa meningkatkan devisa, menjaga kestabilan rupiah. Nah digital platform ini hanya menjadi platform, yaitu cara kita bagaimana bisa menekan biaya atau mendistribusikan produk-produk yang tadinya itu susah untuk rmencapai ke end user. Dengan adanya digital, saya bilang akan lebih efisien. Tetap basisnya kita harus diperbaiki yaitu lini kedua dari manufacturing, wholesale,  construction. Contohnya yang di infrastruktut ya, ini harus tetap berjalan maju untuk mendukung bahkan berjalan bersamaan dan pararel dengan maraknya industri digital. Jadi enggak bisa digital berjalan sendiri, nah itu ditopang dengan apa nanti konsumsinya. Ini semua harus berjalan berbarengan barulah bisa. Kalau ini dicampur dengan lini kedua atau pun mampu memberikan added value pada sektor primer kita, entah kita jualan bijih bauksit dan lain sebagainya, ini akan bagus. Mengangkat keseluruhan momentum ekonomi jadi share-nya itu dari yang pure digital dan informatika yang di bawah 5% akhirnya dia bisa mengimbas ke sektor lain sehingga mengangkat semuanya. Jadi kuncinya di situ.   

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×