Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kinerja emiten di sektor pertambangan masih mengecewakan. Sepanjang semester I 2015, tidak banyak emiten tambang berhasil mencetak pertumbuhan laba. Malah, mayoritas emiten membukukan kerugian besar karena harga komoditas terpangkas.
Dari beberapa emiten tambang berkapitalisasi pasar besar yang sudah melaporkan kinerja, hanya PT United Tractors Tbk (UNTR) yang berhasil mencetak pertumbuhan laba bersih, meski hanya naik 3,6% year-on-year (yoy). Tapi pendapatannya turun 9,3% (yoy) menjadi Rp 24,9 triliun.
"Pendapatan perseroan terkena dampak negatif pelemahan harga komoditas," ujar Ariyanto Kurniawan, analis Mandiri Sekuritas, dalam laporannya, kemarin.
Produsen batubara pelat merah, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) juga harus mencetak penurunan laba bersih 31% (yoy) menjadi Rp 795 miliar. Meski begitu, PTBA memperbaiki kinerjanya di kuartal II 2015. Menurut Ariyanto, hal ini karena biaya produksi PTBA lebih rendah di kuartal II 2015.
PT Indika Energy Tbk (INDY) juga harus rela pendapatannya turun 18,21% (yoy) menjadi US$ 618,32 juta. INDY menderita kerugian US$ 7,23 juta dari sebelumnya untung US$ 8,45 juta. Ini karena INDY mencetak beban yang cukup tinggi.
Tim Riset Henan Putihrai dalam laporannya akhir pekan lalu memberikan opini underweight terhadap sektor pertambangan secara keseluruhan. Hal ini seiring lemahnya indikasi pemulihan ekonomi global. "Data konsumsi domestik dan manufacturing China masih memberikan sinyal tekanan pada ekspor batubara domestik," ujar laporan itu.
Di sisi lain, permintaan impor dari India diprediksi berkurang karena adanya pertumbuhan produksi batubara domestik. Penurunan harga minyak sebagai barang substitusi juga berdampak negatif terhadap permintaan batubara. Untungnya, ada penundaan kenaikan tarif royalti. Sebelumnya, pemerintah berencana menaikkan tarif royalti tahun ini untuk tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari 5%-7% menjadi 10%-13.5%.
Namun, mempertimbangkan harga komoditas batubara yang terus melemah, pemerintah menunda rencana itu. Tetapi, menurut Henan Putihrai, jika kebijakan itu diterapkan, PTBA berpotensi mengalami penurunan pendapatan paling besar akibat dari seluruh hasil produksi pertambangan karena menggunakan izin IUP dengan kualitas kalori menengah dan tinggi (mid-low grade).
Emiten batubara yang mengalami penurunan laba cukup dalam adalah PT Harum Energy Tbk (HRUM). Laba bersih HRUM hanya US$ 2,8 juta atau anjlok hingga 84% (yoy). HRUM memang menahan ekspansi tahun ini hingga harga batubara pulih. Jika emiten berbasis pertambangan batubara masih lesu, emiten pertambangan yang berbasis komoditas mineral seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) masih bisa mencetak kenaikan volume penjualan.
Hal ini karena permintaan komoditas emas dan feronikel naik di Kuartal II-2015. Penjualan bersih ANTM mencapai Rp 7,89 triliun pada semester I 2015 atau melejit 98% (yoy). Wiliam Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, menilai, margin laba bersih emiten pertambangan yang tak mendiversifikasi bisnis lebih mudah menurun.
UNTR yang sudah mulai masuk bisnis konstruksi membuat laba bersihnya sedikit terangkat. Sementara dalam jangka panjang, bisnis PTBA yang terdiversifikasi ke bisnis energi listrik juga bakal lebih menjanjikan ketimbang emiten pertambangan lainnya.
Menurut William, perbaikan di sektor pertambangan masih lama. Hal ini membuat saham sektor pertambangan belum bisa dijadikan spekulasi jangka pendek. Untuk investasi jangka panjang, William merekomendasikan ANTM, PTBA dan UNTR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News