kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Kinerja anjlok, rating terpangkas


Senin, 22 September 2014 / 06:11 WIB
 Kinerja anjlok, rating terpangkas
ILUSTRASI. Kecombrang bisa membantu menurunkan asam lambung tinggi.


Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sejak awal bulan ini perusahaan rating PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menurunkan peringkat beberapa emiten. Di antaranya, PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII), dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR). Pefindo menurunkan rating keempat perusahan tersebut lantaran kinerja mereka selama enam bulan tidak sesuai perkiraan analis.

Mega Nugroho, analis Pefindo, mengatakan, penurunan rating bukan cuma soal kinerja semata, melainkan juga arus kas dan struktur permodalan yang tak sesuai ekspektasi analis. Bagi, David Nathanael Sutyanto, analis First Asia Capital, penurunan rating tersebut wajar. Pasalnya, fundamental keempat emiten sedikit mengecewakan.

Sebutlah emiten ADHI, David menilai, emiten konstruksi ini tumbuh melambat. David bilang, kontrak baru ADHI juga terbilang sedikit. Adapun menurut penilaian Mega, margin laba ADHI terus tertekan. Ini karena adanya peningkatan biaya yang signifikan sejak Juni 2014. Biaya operasional ADHI memang meningkat setinggi 24% year on year (yoy). Padahal, pertumbuhan pendapatan ADHI justru turun 5% yoy.

Mega melihat, penurunan ini karena kinerja divisi engineering, procurement, and construction (EPC) memburuk. Apalagi rasio utang terhadap ekuitas alias debt to equity ratio (DER) ADHI cukup besar. David bilang, DER ADHI 5,5 kali, hingga kuartal II tahun ini.

Tertekan bunga tinggi

Sementara itu, penurunan suku bunga acuan yang berada di level tinggi menjadi salah satu pemicu penurunan rating emiten bank. Akibatnya, emiten dengan rasio non performing loan (NPL) mendekati ambang batas semakin tertekan.

Pada BJBR David menilai, bank pembangunan daerah (BPD) ini akan sulit tumbuh karena rasio kredit bermasalah (NPL) BJBR semakin tinggi. David bilang, hingga Juli 2014, NPL BJBR naik menjadi 3,97%, sementara pada periode yang sama tahun lalu 2,1%.

"Paling tidak NPL yang sehat bagi bank itu di bawah 2%," jelas dia. Analis Samuel Sekuritas Joseph Pangaribuan mengatakan, BJBR agaknya akan sulit tumbuh pada tahun ini. Pasalnya, dana pihak ketiga emiten ini sangat sensitif dengan suku bunga. "Jadi kalau Bank Indonesia menetapkan suku bunga naik, BJBR harus menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi," terang Joseph. Kondisi yang sama juga dialami oleh BNII.

David bilang, sektor perbankan memang tengah dibayangi kenaikan suku bunga. NPL BNII mencapai 2,68%. Padahal di tahun lalu, NPL BNII hanya 1,43%. "Artinya, banyak nasabah yang tak bisa membayar pinjaman," jelas David. Sementara, dari sisi kupon obligasi BNII mencapai 11,35%. Sedangkan pada INAF, Pefindo harus menurunkan rating lantaran kemampuan membayar utang jatuh tempo meragukan.

Analis Pefindo Anies Setyaningrum mengatakan, INAF memiliki surat utang jangka menengah alias medium term notes (MTN) Rp 120 miliar jatuh tempo pada 20 Desember 2014. Kondisi ini diperparah dengan kinerja INAF yang jauh dari prediksi.

Pada semester I–2014, perusahaan farmasi pelat merah ini menderita rugi bersih Rp 50,9 miliar. Jumlah tersebut naik 447,38% dibandingkan semester I–2013 yang merugi Rp 9,29 miliar. Padahal pendapatan INAF naik 11,9% menjadi Rp 387,69 miliar. Nah, kerugian tersebut terjadi lantaran beban keuangan perseroan yang kian meningkat tajam mencapai Rp 19 miliar dari Rp 9,4 miliar.

Meski begitu, analis menilai, secara fundamental perusahaan yang diturunkan rating-nya tak akan terus terpuruk. David mencontohkan, Adhi Karya. Terlebih, presiden terpilih Joko Widodo akan menggenjot bisnis infrastruktur. "Pastinya hal ini masih bisa membuat emiten konstruksi lain, termasuk ADHI, bisa berkembang," harap dia.

Karena itu, jika para emiten bisa kembali meningkatkan kinerja pada periode selanjutnya, maka biasanya perusahaan rating akan menaikkan peringkat alias upgrade. "Kami akan melihat tiga poin itu, seperti pendapatan, arus kas, dan struktur permodalan, apakah ada improve atau tidak," ujar Mega. Dari saham BNII, ADHI, INAF dan BJBR, David hanya merekomendasikan buy pada ADHI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×