kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketika Garuda mulai mengepakkan sayapnya


Rabu, 21 November 2012 / 09:10 WIB
Ketika Garuda mulai mengepakkan sayapnya
ILUSTRASI. Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program stimulus ekonomi berupa Bantuan Subsidi Upah bagi para pekerja yang terdampak pandemi Covid-19.


Reporter: Teddy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander

Sempat terperosok setelah pencatatan sahamnya Februari 2011 silam, kini, harga saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berangsur naik. Ini seiring dengan kinerja Garuda yang kian membaik. Apakah sudah layak memegang saham maskapai ini?

Transaksi perdana saham PT Garuda Indonesia Tbk adalah hari yang sulit terlupakan oleh para investor dan juga para penjamin emisinya. Betapa tidak, saham bersimbol GIAA ini langsung crash landing dari harga perdana Rp 750 menjadi cuma Rp 620 per saham di penutupan transaksi tanggal 11 Februari 2011.

Itu berarti, harga saham GIAA langsung jatuh 17,11%. Bahkan, pada 25 Oktober 2011, harganya sempat terjungkal ke Rp 395 per saham. Maklum, dengan kinerja masih buram, pelaku pasar menilai, harga penawaran perdana atau initial public offering (IPO) saham ini kelewat mahal.

Analis Valbury Asia Securities Michael Handisurya pernah menghitung, price to earning ratio (PER) atau rasio harga saham terhadap laba bersih Garuda 2010 sudah mencapai 74,09 kali. Sementara, jika merujuk rata-rata laba periode 2006–2009, PER Garuda mencapai 26,95 kali. Padahal, PER rata-rata industri penerbangan global kala itu hanya 16,97 kali.

Sayang, pemerintah sebagai pemilik Garuda bersikeras melepas di harga Rp 750. Akibatnya, saham ini sepi peminat. Ujungnya, Mandiri Sekuritas, Bahana Securities, dan Danareksa Sekuritas sebagai penjamin emisi terpaksa “menelan” saham perdana senilai Rp 2,26 triliun. Mereka pun terpaksa merugi akibat harganya yang crash landing tadi.

Terus tambah pesawat

Sampai pekan lalu (14/11), harga saham Garuda Rp 690 per saham atau belum kembali ke harga perdananya. Namun, tren harga GIAA terlihat berangsur naik. Kondisi ini, tampaknya, terjadi seiring dengan kinerja Garuda yang kian membaik.

Garuda terus berbenah. Memasuki 2012, Garuda menyapih Citilink jadi maskapai mandiri di kelas low cost carriers (LCC). Kontribusi maskapai bertarif murah ini tampak meningkat. Per September 2012, Citilink mengangkut 13% dari total penumpang GIAA. Kontribusi ini naik 4% dari posisi September 2011. Padahal, “Kompetisi di LCC cukup ketat, terutama dengan Lion Air yang gencar berpromosi dan menambah pesawat,” kata Revita Dhiah Anggrainy, analis Binaartha Parama.

Senior Manager Marketing and Communications Citilink Aristo Kristandyo bilang, Citilink kini mengoperasikan 17 pesawat, bertambah dari sembilan pesawat pada Desember 2011. Hingga akhir 2012, Citilink menargetkan tambahan empat unit Airbus A320-200. Dus, Citilink akan bisa mengudara 137 kali per hari, sementara pada saat ini 90 per hari.

Maskapai Garuda pun terus menambah jumlah armadanya. Targetnya mencapai 105 unit di akhir 2012, dari 87 pesawat di 2011. Tahun depan, jumlahnya akan bertambah menjadi 127 unit. Saat ini, Garuda sudah mengoperasikan 95 pesawat.

Asal tahu, Garuda sudah meneken kontrak pembelian 11 pesawat Airbus 330-300 seharga Rp 23 triliun. Pesawat-pesawat ini akan dikirim secara bertahap mulai 2013 hingga 2017.

Berkat penambahan pesawat baru, rata-rata usia pesawat Garuda terpangkas. Jika pada 2007 umur rata-ratanya 11,1 tahun, pada 2011, usia rata-rata pesawatnya 7,92 tahun. Jika target penambahan tahun ini tercapai, Revita menghitung, usia rata-rata pesawat Garuda akan menjadi 5,8 tahun.

Otomatis, konsumsi bahan bakar pun menjadi kian efisien. Namun, belum tentu biaya bahan bakar otomatis menciut. Sebab, ada faktor harga yang berperan besar menentukan komponen beban operasional.

Analis Danareksa Sekuritas Ananita Mieke mengukur, harga minyak tahun ini rata-rata mencapai US$ 103 per barel. Akibatnya, kontribusi biaya avtur ke total biaya operasi bisa mencapai 40%. Di 2013, rata-rata harga minyak diperkirakan US$ 142 per barel sehingga kontribusi biaya avtur menjadi 43%. “Tapi, konsumsi bahan bakar pesawat baru lebih efisien, sehingga pengaruh kenaikan harga minyak bisa sedikit diredam,” ujarnya.

Tak sekadar menambah pesawat, Garuda juga terus melebarkan sayap di jalur penerbangan internasional. Lewat kerjasama dengan Etihad Airways, maskapai asal Uni Emirat Arab, penumpang Garuda terhubung ke lebih dari 80 destinasi Etihad di 50 kota di dunia.

Bahkan, mulai 2014, Garuda akan bergabung dengan Sky Team. Alhasil, penumpang garuda bakal terkoneksi dengan rute 17 maskapai internasional, begitu pula sebaliknya.

Selain ekspansi internasional, tak perlu didebat lagi, Garuda adalah pemain utama di kelas full-service carriers domestik.

Bisa lewati harga IPO

Untuk mendanai ekspansi tahun ini, Garuda memakai dana hasil IPO yang mencapai Rp 3,187 triliun. Tapi, per September 2012, manajemen sudah menyerap sekitar 90,4% untuk belanja modal dan uang muka pembelian pesawat. Dus, kini tersisa Rp 209,838 miliar.

Sumber dana lainnya, fasilitas kredit bank bertenor lima tahun senilai US$ 200 juta. Garuda sudah mencairkan US$ 75 juta, September silam. Sisanya akan ditarik sampai akhir tahun ini.

Dengan asumsi ekuitas tak bertambah, rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) Garuda akan mencapai 1,45 kali di akhir 2012. “Per September 2012, net gearing (rasio utang dikurangi kas terhadap ekuitas) 24%. Jadi masih mungkin untuk mencari pinjaman atau menerbitkan obligasi,” ujar Ananita.

Per September 2012, pendapatan usaha Garuda mencapai US$ 2,386 miliar, naik 14,44% dari periode sama 2011. Adapun laba usaha dan laba bersih masing-masing terbang 140,31% dan 51,55% menjadi sekitar US$ 92,75 juta dan US$ 56,48 juta.

Tahun ini, manajemen GIAA optimistis bisa meraup pendapatan US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 31 triliun dan laba bersih Rp 1,2 triliun. Sementara untuk 2013, Ananita meramal, Garuda bisa meraih pendapatan dan laba bersih masing-masing Rp 37,06 triliun dan Rp 1,58 triliun.

Berdasarkan proyeksi itu, Ananita merekomendasikan beli saham GIAA dengan target Rp 900 per saham, lebih tinggi dari harga IPO. Revita pun merekomendasikan beli dengan target Rp 720 per saham hingga akhir tahun ini.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 08 - XVII, 2012 SAHAM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×