kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.917   13,00   0,08%
  • IDX 7.201   60,44   0,85%
  • KOMPAS100 1.107   12,17   1,11%
  • LQ45 879   12,50   1,44%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,62   1,49%
  • IDXHIDIV20 541   6,13   1,15%
  • IDX80 127   1,51   1,20%
  • IDXV30 134   0,46   0,35%
  • IDXQ30 149   1,78   1,20%

Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) belum signifikan untuk jangka pendek


Selasa, 23 Maret 2021 / 21:59 WIB
Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) belum signifikan untuk jangka pendek
ILUSTRASI. Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) belum signifikan untuk jangka pendek


Reporter: Dityasa H. Forddanta | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) menjadi asa baru emiten BUMN Karya mengurangi beban keuangan. Melalui dana kekayaan negara atawa sovereign weath fund (SWF) yang disediakan lembaga ini, BUMN memiliki kepastian divestasi aset yang berujung pada penambahan likuiditas dan ruang pencarian utang untuk ekspansi yang kembali.

Namun, lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai, keberadaan INA kurang signifikan dalam membantu BUMN karya mengurangi beban utangnya (deleveraging) dengan menjadi pembeli siaga aset yang dijual oleh BUMN untuk jangka pendek.

Seperti dilansir Bloomberg, kurang signifikannya keberadaan INA lantaran modal INA relatif kecil dibanding utang BUMN, terutama di sektor konstruksi, tol, serta minyak dan gas.

Seperti diketahui, pemerintah menyuntik Rp 15 triliun sebagai modal dasar INA. Pemerintah masih berencana menambah Rp 60 triliun lagi tahun ini dalam bentuk kas, aset negara, piutang pemerintah, dan saham perusahaan BUMN.

Baca Juga: Penerbitan SBN akan dipangkas, begini kata ekonom Bank Mandiri

Joey Faustian, analis Sucor Sekuritas menyebut, masih terbatasnya modal INA memang belum bisa memberikan efek signifikan untuk jangka pendek. "Oleh sebab itu, pengaruhnya akan lebih spesifik ke emiten yang sudah sangat leveraged seperti WSKT dan JSMR," ujarnya, Selasa (23/3).

Dia memperkirakan, WSKT bakal menjual aset tol senilai Rp 27 triliun hingga akhir semester pertama ini. Yang menarik, divestasi ruas tol Semarang-Batang dilakukan dengan valuasi 2 kali price to book value (PBV) dengan nilai Rp 1,5 triliun.

"Sehingga, WSKT berpotensi menghasilkan gain from divestment. Nilainya sekitar Rp 700 miliar," terang Joey.

Andrey Wijaya, analis RHB Sekuritas mengamini INA menjadi penyegar keuangan WSKT. Emiten pelat merah ini tengah bernegosiasi bersama calon pembeli untuk menjual sejumlah ruas tol seperti Waskita Transjawa Toll Road, Depok-Antasari dan beberapa lainnya. Aset-aset ini kemungkinan besar dijual melalui INA.

Jika ditotal, WIKA bakal menjual sembilan aset tol sepanjang tahun ini. WSKT diperkirakan meraup kas Rp 6 triliun-Rp 7 triliun setelah divestasi rampung.

"WSKT berpotensi mengurangi utangnya sebesar Rp 17 triliun-Rp 18 triliun," tulis Andrey dalam riset. Dia juga memperkirakan, rasio utang terhadap ekuitas WSKT tahun ini bakal turun menjadi 1,69 kali dari sebelumnya 2,9 kali.

Baca Juga: Kata Airlangga Hartarto soal peringkat investasi Indonesia di mata AS dan Eropa

Toh, INA bukan satu-satunya harapan emiten BUMN menjual aset. Sebab, sejumlah emiten tetap membuka pintu bagi calon pembeli lain. Bukan tanpa alasan emiten BUMN mengambil posisi seperti ini.

"Tentu, mereka mencari penawaran terbaik. Yang penting, mereka bisa unload asetnya. Patokan yang ideal minimal 1,5 kali, tapi asal tidak rugi saja sudah bagus," jelas Joey.

Selanjutnya: Ini catatan bagi pemerintah yang akan membangun LRT dan MRT di 5 kota lewat dana SWF

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×