Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, tepatnya pada 10 Agustus 2020, merupakan hari jadi Pasar Modal Indonesia yang ke-43. Hari jadi ini merupakan peringatan diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia oleh pemerintah pada tanggal 10 Agustus 1977.
Selama 43 tahun perjalanan, pasar modal Tanah Air mengalami pasang surut. Terlebih saat ini, perekonomian Indonesia tengah dilanda oleh pandemi corona (Covid-19), yang tidak hanya berdampak pada sektor riil, tetapi juga berdampak pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Baca Juga: Pasar tak kondusif, Adaro Energy (ADRO) pangkas target EBITDA, capex hingga produksi
Kinerja IHSG sempat terpuruk di titik terendahnya pada Maret lalu, yakni sempat menyentuh level 3.937,63. Namun, perlahan IHSG mulai bangkit dan pada penutupan perdagangan Jumat (14/8), IHSG ditutup di level 5.247,690.
Tidak hanya itu, jumlah investor pasar modal juga terus meningkat. Per akhir Juli 2020, jumlah investor pasar modal Indonesia yang tercatat pada PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), yang terdiri atas investor saham, reksadana, dan obligasi telah bertumbuh sebesar 22% dari tahun 2019 lalu, menjadi 3,02 juta investor.
Namun, jumlah ini masih tergolong sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, yang per semester I-2020 mencapai 268,58 juta jiwa.
Vice President Samuel Sekuritas Indonesia Muhammad Alfatih menilai, masih sedikitnya penduduk Indonesia yang menjadi investor di pasar modal tanah air, disebabkan kurangnya literasi pasar modal dan juga budaya investasi masih rendah di masyarakat.
“Di sisi lain, kasus penipuan dan investasi bodong yang kadang-kadang terjadi, juga menjadi kendala dan menjadikan calon investor khawatir dengan risiko di pasar modal,” ujar Alfatih kepada Kontan.co.id, Minggu (16/8).
Sehingga, dia menilai perlindungan masyarakat memang sulit jika diterapkan setelah penipuan (fraud) terjadi. Oleh karena itu, perlu peran serta otoritas, salah satunya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga tindak penipuan tersebut bisa dicegah sejak awal atau diluruskan sebelum menjadi kasus.
Senada, Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, rendahnya jumlah investor di Indonesia disebabkan oleh edukasi dan sosialisasi yang belum menjangkau masyarakat secara optimal. “Jangankan untuk investasi saham, literasi keuangan secara umumpun relatif masih rendah,” ujar Aria kepada Kontan.co.id, Senin (17/8).
Aria menilai, yang menjadi perhatian saat ini adalah adanya suatu potensi pertumbuhan jumlah investor pasar modal, karena masih tersedianya ruang yang sangat besar untuk bertumbuh bila dibandingkan dengan total populasi secara nasional.
Ke depan, Alfatih menilai otoritas bursa harus meningkatkan literasi ke masyarakat, bisa dimulai dari sekolah, kampus, atau bahkan ke karyawan dan staf perusahaan terbuka itu sendiri. Selain itu, Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia menjadi sangat potensial untuk mengembangkan instrumen investasi berbasis syariah.
Baca Juga: Tetapkan harga rights issue Rp 262, Acset Indonusa (ACST) akan meraup Rp 1,5 triliun
Mengenai produk investasi syariah, Alfatih menilai otoritas bursa bisa mempertimbangkan untuk melakukan sosialisasi dan literasi ke lembaga-lembaga keagamaan masyarakat. “Banyak dana di masyarakat yang belum masuk ke pasar modal karena terkendala pemahaman keagamaan yang belum sepakat,” sambung dia.
Padahal, instrumen investasi syariah di pasar modal Tanah Air sudah cukup mumpuni. Per 7 Agustus 2020, sebanyak 459 efek syariah berupa saham yang terdaftar dalam daftar efek syariah (DES). Selain itu, terdapat 443 Saham yang tercatat di BEI dan menjadi konstituen dari Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Sementara itu, per 7 Agustus 2020, tercatat ada peningkatan penerbitan sukuk korporasi, yakni sebanyak 253 dengan total nilai emisi mencapai Rp 51,89 triliun, dibandingkan dengan data per 31 Desember 2019 yang hanya menerbitkan sukuk sebanyak 232 dengan total nilai emisi sebesar Rp 48,24 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News