kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45904,89   6,14   0.68%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi dari sektor andalan pengerak bursa


Rabu, 17 Oktober 2012 / 18:17 WIB
Investasi dari sektor andalan pengerak bursa
ILUSTRASI. Gaslighting merupakan salah satu bentuk toxic relationship yang sebaiknya Anda jauhi.


Reporter: Yuwono Triatmodjo, Teddy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander

Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG) berhasil mencetak rekor baru di 4.311,31, Jumat (5/10). Kini fokus perhatian bertumpu pada: sektor-sektor serta saham-saham apa saja yang masih akan menjadi motor penggerak laju indeks?

Hingga kini, kondisi ekonomi global masih menghawatirkan. Pantas saja bila emiten emiten yang mengandalkan pendapatan dari ekspor produk mereka ke luar negeri, kini, menjadi kurang seksi di mata para investor..

Misalnya saja, keputusan Standard & Poor’s (S&P) memangkas peringkat kredit Spanyol baru-baru ini menjadi satu tingkat saja di batas level layak investasi. Belum lagi tingkat pengangguran di Yunani sebesar 25,1% yang konon menjadi rekor baru sepanjang sejarah di negeri para dewa tersebut.

Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman berpendapat, sektor-sektor yang saat ini menarik adalah mereka yang tertolong oleh pertumbuhan konsumsi domestik. Termasuk juga, sektor-sektor yang mendapat limpahan proyek dari belanja negara, khususnya di sektor infrastruktur.

Pertumbuhan konsumsi domestik saja sudah memberikan efek domino. “Saat konsumsi dalam negeri meningkat, maka investasi produksi tentu juga naik. Untuk mendukung itu, perlu pembangunan infrastruktur,” ujar Norico. Berikut ini adalah sektor-sektor dan saham-saham pilihan yang masih menjadi jagoan para analis.

Properti dan real estat

Rencana pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang pemerintah membuat prospek sektor ini kian kinclong. Yang pertama kali paling diuntungkan dari kucuran dana ratusan triliun rupiah ini tentu emiten konstruksi pelat merah. Asal tahu saja, di Bursa Efek Indonesia, emiten konstruksi bangunan masuk dalam sektor properti dan real estat.

Belanja negara untuk konstruksi nasional pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp 356 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 237 triliun. Pada tahun 2015, anggarannya ditaksir mencapai Rp 500 triliun. Faktor ini membuat analis MNC Securities Reza Nugraha yakin, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di sisa akhir tahun 2012 akan tertopang, salah satunya, oleh sektor ini.

Data historis menunjukkan 70% pendapatan emiten konstruksi, terutama yang berstatus BUMN, datang di semester kedua. Persoalan pembebasan lahan yang selama ini menjadi momok emiten konstruksi sudah menemui jalan keluar dengan terbitnya UU dan Perpres tantang Pengadaan Lahan.

PT Adhi Karya Tbk (ADHI), lanjut Reza, menghadapi masalah untuk investasi awal. Rencana penerbitan saham baru (rights issue) tak jua terlaksana lantaran pemerintah tak ingin melepas kepemilikan mayoritasnya. “Mereka kerepotan karena banyak dana yang tersangkut di proyek-proyek, sepert i monorel Jakart a dan Hambalang,” tutur Reza. Sementara BUMN konstruksi
terbesar, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), hingga Juni 2012 mencatat rasio utang terhadap modal (DER) sebesar 2,7 kali.

Bersyukur, kas internal mereka mencapai Rp 1,1 triliun sehingga peluang mendapatkan proyek kakap juga terbuka lebar. Reza lebih memilih WIKA. Dengan kemampuan pendanaan yang berlimpah, peluang mendapatkan proyek juga lebih besar. Tahun 2012 ini, ia yakin, laba bersih Wijaya Karya dapat tumbuh 15%–17% ketimbang tahun sebelumnya. Dia merekomendasikan beli saham WIKA dengan target harga Rp 1.450 per saham.

Angka ini merefl eksikan rasio harga per saham terhadap laba bersih per saham (PER) 24 kali. Di tahun 2013, ia menghitung harga wajarnya bisa melambung ke Rp 1.700 dengan PER 26 kali.

Analis Bahana Securities Anthony Alexander juga memilih WIKA sebagai saham unggulan. “Salah satu keunggulan mereka adalah memiliki WIKA Beton sebagai unit bisnis yang prospeknya sangat cemerlang,” tuturnya. Belum lagi, saat ini WIKA dijagokan sebagai salah satu pemenang tender proyek t ranspor tas i masal (MRT) DKI Jakarta.

Hingga Kamis pekan lalu, saham WIKA berakhir di harga Rp 1.360 per saham. Sementara, Anthony sendiri memberi target harga di level Rp 1.400 per saham. Artinya, tinggal selisih 2,94%. Anthony mengaku sedang menunggu laporan keuangan kuartal ketiga sebelum merevisi harga saham WIKA. Namun, ia tetap merekomendasikan beli saham konstruksi pelat merah tersebut.

Konsumsi

Kondisi makroekonomi Indonesia diyakini tetap positif. Pertumbuhan kelas menengah menyebabkan konsumsi domestik menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang paling dominan. Alhasil, emiten sektor konsumsi masih memiliki momentum pertumbuhan meski kondisi global sedang kacau balau.

Namun, analis AAA Securities Adolf Sutrisno mengingatkan, emiten-emiten di sektor konsumsi tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh kondisi global, terutama fluktuasi harga komoditas. Beberapa komoditas, seperti minyak kelapa sawit (CPO), sangat bergantung pada pergerakan harga di pasar internasional.

Kondisi ini tentu berpengaruh pada emiten-emiten yang memerlukan CPO, seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Sementara gandum, yang menjadi bahan baku produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), tak cuma rentan di sisi harga, tapi juga di sisi pasokan.

Pasalnya, status Indonesia hingga saat ini masih menjadi importir biji gandum. Bagi Nippon Indosari, misalnya, tepung terigu berkontribusi sebesar 40% terhadap total biaya produksi sehingga tekanan pada harga gandum akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi perseroan. “Ini yang membuat emiten mengantisipasinya dengan menaikkan harga jual produk,” kata Adolf.

Prospek cerah sektor konsumsi tak urung membuat saham-saham penghuninya terutama yang berfundamental bagus menjadi incaran. Alhasil, harga sahamnya pun terus ter-apresiasi, tak terkecuali PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Hingga Kamis lalu (11/10), harga saham UNVR mencapai Rp 25.950 per saham. “Kalau bisa mereka stock split sehingga harganya lebih terjangkau,” ujar Adolf.

Di sektor ini Adolf menjagokan beberapa saham, di antaranya KLBF dan ROTI. Emiten farmasi semisal PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) bakal diuntungkan oleh penerapan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Penggunaan obat generik akan meningkat sehingga berdampak ke penjualan obat. Adolf memasang target harga Rp 1.100 per saham untuk KLBF yang merefleksikan PER 2012 27 kali dan PER 2013 sebanyak 23 kali.

Sementara, ROTI menjadi penguasa pasar penganan empuk tersebut dengan distribusi yang kian meluas lewat kerjasama dengan toko-toko retail, seperti Indomart dan Alfamart. “Bulan April 2012 ROTI menaikkan harga jual 10% untuk menghadapi kenaikan harga tepung gandum. Tapi, penjualannya enggak terpengaruh sama sekali,” kata Adolf, yang memasang target harga ROTI Rp 5.500 dengan PER 2012 sebanyak 39 kali dan PER 2013 di 32 kali.

Saham INDF juga direkomendasikan oleh Samuel Sekuritas Indonesia. Mereka merekomendasikan beli dengan target harga Rp 6.400. Hingga Kamis pekan lalu, harga INDF ada di level Rp 5.750 per saham. Dengan target harga itu, analis Samuel Sally Agustina dalam analisisnya menyebutkan, PER 2012 Indofood sebesar 17,9 kali.

Angka ini masih di bawah prediksi PER 2012 sektoralnya yang mencapai 19,1 kali. Diakui Sally, kompetisi industri tepung milik anak usaha Indofood, Bogasari terbilang cukup ketat. Dari empat pemain di tahun 2006, kini jumlahnya melonjak menjadi 16. Namun, mereka masih optimistis karena Bogasari masih menguasai diatas 50% pangsa pasar tepung.

Perbankan

Sektor berikutnya yang patut dicermati adalah perbankan. Faktor makroekonomi yang positif menjadi pendukung pertumbuhan perbankan. Tren inflasi masih sesuai target 4,5% dengan plus-minus 1%. Tak heran, bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) stabil di 5,75% sehingga cost of fund bank lebih kompetitif. Hasil akhirnya, pertumbuhan kredit selama semester I–2012 hampir mencapai 26% (yoy), jauh lebih baik dari perkiraan konservatif Bank Indonesia, yang cuma 22%.

Selain itu secara umum bank mulai berbondong-bondong masuk ke pembiayaan mikro, seperti PT Bank Mandiri Tbk, PT Bukopin Tbk, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk. Sektor mikro memang menggiurkan lantaran mampu mendatangkan keuntungan cukup besar sehingga dapat mendongkrak margin laba bersih (NIM) bank.

Persoalan domestik yang sempat mewarnai sektor ini adalah kebijakan BI terkait rasio nilai kredit terhadap barang agunan (LTV). Ini menimbulkan masalah di pertumbuhan kredit konsumsi. Kredit investasi dan modal kerja bisa tumbuh di atas 30%, tapi kredit konsumsi hanya tumbuh sekitar 19%. Meski terlihat kurang baik, kebijakan ini sebetulnya menguntungkan bank sebab rasio kredit bermasalah menjadi lebih terkendali. “Bank jadi bergeser ke kredit produktif. Ini berdampak bagus ke kualitas aset,” kata Arief Fahruri, analis Mega Capital.

Ke depan, tekanan terhadap kredit konsumsi bank juga akan datang dari peraturan Bank Indonesia soal alat pembayaran menggunakan kartu yang mulai berlaku Januari 2013. Lewat aturan ini, setiap nasabah hanya boleh memiliki maksimal dua kartu kredit. Selain itu, plafon kredit yang diberikan adalah maksimal tiga kali pendapatan bulanan si nasabah.

Aturan ini terutama berlaku bagi pemegang kartu berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan. Aturan ini baik untuk kesehatan bank, sebab efektif menekan kredit bermasalah (NPL). Tapi, aturan ini juga berpotensi mengurangi kucuran kredit konsumsi di perbankan. Namun pengaruhnya tidak akan signifikan karena komposisinya memang tidak besar terhadap total kredit konsumsi bank.

Ambil contoh, emiten PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) selama 2011 mengalirkan kredit properti senilai
Rp 18 triliun dan kredit kendaraan Rp 6,4 triliun. “Yang ke kartu kredit cuma Rp 4 triliun. Kalaupun berdampak, sifatnya cuma jangka pendek dan kecil,” kata Arief.

Sentimen positif lainnya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan bank BUMN melakukan penghapusan piutang. Selama ini piutang yang tak tertagih selalu menodai neraca keuangan bank pelat merah. Jumlah utang tak tertagih ini memang cukup besar. Dalam catatan Arief, di BMRI, nilainya mencapai Rp 32,6 triliun, BBNI Rp 24 triliun, BBRI Rp 13 triliun, dan BBTN sekitar Rp 700 miliar. “Teknisnya seperti apa belum diketahui. Kalau juklaknya sudah terbit dan mudah diterapkan, ini akan sangat menguntungkan bank BUMN,” tandasnya.

Jika bank mampu menagih langsung piutang tersebut tanpa melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), 10% saja yang kembali, akan sangat berpengaruh terhadap laba bersih bank. Sebagai contoh, jika BMRI berhasil menagih 10% dari total piutang pada 2013 mendatang, maka Mandiri akan mendapat pendapatan lain-lain berupa hasil penjualan saham – seperti Garuda tempo hari – sebesar Rp 3,26 triliun. Ini tentu angka yang sangat signifikan, mengingat tahun 2011 saja, laba bersih BMRI sekitar Rp 12 triliun.

Di sektor perbankan, Arief menjagokan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR). Bank milik Pemprov Jabar dan Banten ini sudah menyelesaikan infrastruktur untuk “Warung Mikro”. Jumlahnya kini mencapai 431 unit. BJBR pun bisa mulai fokus menyalurkan kredit mikro.

Tahun ini Arief memasang target harga di Rp 1.300 per saham yang mencerminkan PER tahun 2012 BJBR di 9,6 kali. Rasio harga per saham terhadap nilai buku per saham (PBV) diprediksi mencapai 1,9 kali. Pada target harga tersebut, PER dan PBV 2013 BJBR masing-masing ada di level 7 kali dan 1,8 kali. Sebagai catatan, target harga ini belum memperhitungkan kinerja BJBR di kuartal ketiga 2012.

Analis Sucorinvest Central Gani Isfhan Helmy melihat PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga masih sangat menarik. Ia merekomendasikan beli dengan target harga Rp 1.950 per saham. Rencana penjualan saham baru (rights issue) Bank BTN diyakini Isfhan akan menggenjot pertumbuhan kredit bank ini. Jadi, silakan Anda memilih sektor dan saham apa yang menurut Anda bisa mendatangkan cuan paling maksimal.

Indek Sektoral per 11 Oktober 2012
Sektor Nilai YtD (%) Bobot Indeks (% PER Estimasi ) 2012
Keuangan 538,80 9,28 24,36 12,79
Infrastruktur & Transportasi 914,63 30,56 14,73 17,17
Barang Konsumsi 1.612,36 22,52 13,84 25,09
Perdagangan dan Jasa 717,07 23,17 11,82 19,04
Aneka Industri 1.391,31 6,11 10,25 16,26
Industri Dasar dan Kimia 480,05 17,58 8,45 17,09
Pertambangan 1.930,81 -23,76 8,41 11,94
Konstruksi, Properti, & Real Estat 304,46 33,68 5,14 15,56
Pertanian 2.131,07 -0,70 2,99 10,94
IHSG 4.284,97 12,11 100 15,75
        Sumber: Bloomberg

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 03 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×