CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Instrumen Investasi Pilihan di Tengah Inflasi Tinggi dan Kenaikan Suku Bunga


Rabu, 16 Februari 2022 / 21:19 WIB
Instrumen Investasi Pilihan di Tengah Inflasi Tinggi dan Kenaikan Suku Bunga
ILUSTRASI. Inflasi tinggi dan suku bunga naik membawa sentimen negatif bagi pasar keuangan.


Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inflasi Amerika Serikat (AS) tinggi dan Federal Reserved (The Fed) akan segera menaikkan suku bunga acuan. Meski Bank Indonesia (BI) mengatakan akan mempertahankan suku bunga acuan rendah selama inflasi dalam negeri masih terjaga, tren kenaikan suku bunga akibat inflasi yang tinggi juga akan menyusul di Indonesia. 

Di tengah kondisi tersebut, analis dan perencana keuangan mengatakan inflasi tinggi dan suku bunga naik membawa sentimen negatif bagi pasar keuangan. Namun, potensi koreksi yang terjadi hanya akan sementara. Sebaliknya, berbagai instrumen investasi tetap memiliki prospek yang cerah di tahun ini. 

Head of Investment Research Infovesta Wawan Hendrayana mengatakan, berkaca pada kenaikan suku bunga AS dari 0,25% menjadi 2,5% sejak 2016 hingga 2019, kinerja baik pasar saham maupun obligasi kompak tetap tumbuh. "Kenaikan suku bunga hanya membuat koreksi sementara pada pasar keuangan," kata Wawan, Rabu (16/2). 

Baca Juga: Reksadana Berbasis Renewable Energy Dinilai Investasi Menarik di Tengah Omicron

Untuk pasar saham, ketika suku bunga naik, harga saham akan kembali bergantung pada fundamental masing-masing emiten. Dilihat dari siklus ketika terjadi kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga, sektor komoditas dan keuangan yang akan diuntungkan. 

Sementara, di pasar obligasi, secara teori memang kenaikan suku bunga berpotensi membuat yield naik dan harga obligasi menurun. Namun, pasar obligasi saat ini mendapat dukungan kuat dari investor dalam negeri. Jadi meski investor asing hengkang dari pasar obligasi pemerintah, pergerakan harga di pasar obligasi akan lebih stabil atawa tidak anjlok dalam. 

"Inflasi tinggi dan suku bunga naik memang membuat yield US Treasury naik dan investor asing cenderung lebih memilih balik ke AS, tetapi pasar obligasi dalam negeri bisa tetap stabil karena dukungan investor domestik dan suplai surat utang negara yang terbatas," kata Wawan.

Baca Juga: Simak Strategi Berinvestasi di Saham, Kripto dan Emas di Tahun 2022

Sekedar informasi pasar obligasi dalam negeri semakin stabil pergerakannya sejak BI melakukan burden sharing yang menyerap sekitar 30%-40% SUN yang beredar di masyarakat. Sementara, permintaan dari investor lokal terutama perbankan besar seiring likuiditas mereka yang naik dan pertumbuhan kredit kecil karena pandemi. 

Wawan mengatakan kalaupun suku bunga BI naik, itu hanya mengoreksi sementara pasar obligasi. Selanjutnya, pasar obligasi pemerintah yang masih menjadi alternatif utama investor domestik di tengah penerbitan obligasi korporasi yang belum banyak akan menjaga harga obligasi tidak turun dalam bahkan segera pulih. 

Wawan menyarankan investor baiknya mendiversifikasikan investasinya di saham 40%, obligasi 40% dan 20% di pasar uang atau deposito. Imbal hasil deposito akan naik seiring kenaikan suku bunga. Wawan memproyeksikan pasar saham berpotensi memberikan imbal hasil 10%-12% dan kinerja pasar obligasi berpotensi tumbuh 6%-7%. 

Baca Juga: IHSG Berpeluang Melanjutkan Penguatan pada Kamis (17/2)

Sementara, perencana keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto menyarankan bagi investor dengan profil risiko moderat maupun konservatif, baiknya memarkirkan dana investasi di deposito. Jika produk investasi lain yang lebih berisiko sudah mencapai harga terendahnya karena koreksi dari kenaikan suku bunga, baru investor dalam kembali masuk ke instrumen investasi tersebut. 

Sementara, bagi investasi yang agresif dan berani berspekulasi investasi emas bisa dicoba. "Saat inflasi naik, suku bunga naik, harga emas juga akan naik," kata Eko. Proyeksi Eko, rata-rata investasi emas saat ini mendapat imbal hasil 8%-10%. 

Investor agresif juga dapat memanfaatkan kondisi tren kenaikan suku bunga global untuk berinvestasi di valuta asing. "Mungkin investasi ke mata uang euro dan dolar Singapura bisa jadi pilihan karena pergerakannya cukup stabil," kata Eko. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×