Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Setelah setahun dikaji dan dirumuskan, Bursa Efek Indonesia (BEI) akhirnya menerbitkan ketentuan baru atas Peraturan Nomor I-A.1 tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Salah satu ketentuan penting di beleid ini adalah perusahaan minerba pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang belum berproduksi boleh mencatatkan saham perdana atau initial public offering (IPO) di BEI.
Regulasi baru yang berlaku efektif 1 November 2014 ini mempermudah perusahaan minerba untuk IPO di Indonesia. Dalam beleid sebelumnya, BEI mematok syarat lumayan ketat bagi perusahaan minerba yang ingin mengajukan IPO.
BEI, misalnya, hanya memperbolehkan perusahaan minerba yang sudah tahap produksi untuk IPO. Ketentuan lama ini dianggap memberatkan banyak perusahaan minerba yang masih tahap eksplorasi untuk mencari dana lewat IPO. PT Xin Fa Minerals salah satu contoh perusahaan yang masuk kategori ini.
Ladjiman Damanik, Direktur Xin Fa bilang, perusahaan masih mengeksplorasi tambang emas seluas 250 hektare (ha) di Cianjur, Jawa Barat. Di sisi lain, Xin Fa butuh dana US$ 20 juta untuk eksplorasi tahap pertama. Xin Fa bakal butuh tambahan dana US$ 50 juta jika akan melangkah ke tahap eksploitasi.
Sebelum ada aturan baru ini, Xin Fa tak bisa IPO di Indonesia lantaran masih tahap eksplorasi. Ladjiman bilang, aturan lama memberatkan lantaran IPO tak hanya berfungsi mencari dana, tapi juga wahana memupuk kepercayaan di mata investor. Xin Fa, bahkan, berencana menggelar IPO di Hong Kong. "Dengan aturan baru ini, kami juga berniat IPO di Indonesia. Karena bagi kami, akan lebih bagus jika perusahaan nasional dimiliki investor domestik," kata Ladjiman kepada KONTAN.
Kasus seperti Xin Fa inilah yang ingin diakomodasi BEI melalui aturan baru IPO perusahaan minerba. Ito Warsito, Direktur Utama BEI pernah bilang, salah satu tujuan beleid baru ini adalah untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik agar perusahaan minerba nasional memilih IPO di Indonesia. Jumlah IPO perusahaan minerba di Indonesia setiap tahun memang rendah, jika dibandingkan dengan bursa negara lain seperti Kanada yang memang dijadikan BEI sebagai tolok ukur (benchmark) dalam menerbitkan revisi peraturan IPO perusahaan minerba ini.
Berdasarkan laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) yang dirilis April 2013, Bursa Kanada (TSX/TSXV) berhasil menggaet 144 perusahaan pertambangan untuk IPO pada periode 2010-2012. Bursa Kanada sudah sejak lama dianggap "rumah" bagi perusahaan minerba berkapitalisasi kecil yang masih tahap eksplorasi atau masa awal produksi.
Jumlah itu timpang jika dibandingkan jumlah IPO perusahaan minerba di Indonesia yang hanya sembilan perusahaan di periode 2010-2012. Bahkan, di 2013, tak ada satupun perusahaan berbasis minerba IPO di BEI.
Harry Su, Kepala Riset Bahana Securities menilai, insentif regulasi seperti ini memang dibutuhkan demi menggenjot jumlah IPO. "Apalagi, harga batubara sedang rendah, sehingga insentif regulasi bisa menjadi daya tarik bagi perusahaan," kata dia.
Secara umum, insentif regulasi juga menjadi salah satu strategi BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meningkatkan jumlah emiten demi mendorong kedalaman pasar (market deepening) Indonesia.
Ini sebagai strategi untuk mendongkrak daya saing bursa Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan. Dalam berbagai kesempatan, Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan, jumlah perusahaan di Indonesia yang bisa diajak IPO sangat banyak. "Misalnya ada 10.000 perusahaan di Indonesia, kita bisa ajak 1% hingga 5% dari mereka untuk IPO per tahun saja, itu sudah bagus untuk meningkatkan kapitalisasi pasar kita," terang dia.
Hans Kwee, Analis Investa Saran Mandiri menilai, strategi BEI merilis insentif regulasi bagi perusahaan minerba untuk mendongkrak jumlah emiten sudah tepat. Namun, beberapa strategi itu mesti dibarengi dengan memperkuat aspek penilaian dan pengawasan kualitas emiten.
Dalam beleid IPO perusahaan minerba misalnya, Hans menekankan, BEI harus memastikan betul calon emiten sudah memiliki cadangan terbukti (proven reserve) dan terkira (probable reserve) dan studi kelayakan, dibuktikan dengan laporan pihak kompeten yang dibuat paling lama satu tahun sebelum permohonan IPO.
Berdasarkan proyeksi keuangan, perusahaan minerba itu juga diwajibkan sudah meraih laba usaha dan laba bersih dari bisnis utama pada tahun keempat setelah pencatatan saham. "Aspek pengawasan atas beberapa persyaratan ini penting untuk menjamin investasi investor," ungkap Hans. Di sisi lain, insentif regulasi seperti ini mesti dibarengi dengan strategi edukasi BEI kepada investor.
Investor saham, Errinto Pardede menuturkan, mayoritas investor di Indonesia belum terbiasa disodori IPO perusahaan yang masih eksplorasi. Ini berbeda dengan investor di London dan Kanada yang sudah terbiasa dan paham dengan risiko investasi di perusahaan minerba dalam tahap eksplorasi.
"Investasi di perusahaan seperti ini sangat spekulatif, mungkin saja tak menghasilkan profit dalam waktu singkat," kata Errinto yang juga Direktur Corporate Affairs di PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News