Reporter: Aris Nurjani | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi dunia tengah dilanda tekanan jual akibat pengetatan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang agresif dan kekhawatiran resesi ekonomi.
Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Syuhada Arief mengatakan, sebetulnya saat ini ekspektasi bunga The Fed sampai akhir tahun sudah sesuai dengan ekspektasi pasar di kisaran 3,4%.
"Ekspektasi yang selaras ini walaupun lebih agresif diharapkan dapat mengurangi faktor ketidakpastian, kejutan, dan volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury ke depannya," tulis Syuhada dalam keterangan tertulis, Senin (25/7).
Syuhada melihat, pengetatan moneter Amerika Serikat (AS) saat ini yang paling agresif dalam beberapa dekade. Kondisi ini membuat prospek pertumbuhan ekonomi AS akan mengalami banyak tantangan, bahkan mungkin pula resesi.
Baca Juga: Penerbitan Obligasi AS Diprediksi Melambat Pekan Ini, Sebelum Kenaikan Bunga The Fed
Namun, data terkini yang ada setidaknya menunjukkan, perekonomian AS saat ini masih relatif kuat. Beberapa leading indicator juga belum menunjukkan sinyal resesi.
Syuhada menilai, probabilitas resesi dari Fed New York masih di bawah level 30% yang merupakan ‘red flag’ atau sinyal kemungkinan potensi resesi. Begitu pula dengan data Conference Board Leading Economic Index yang sampai saat ini masih dalam zona pertumbuhan.
Menurutnya, inflasi AS akan menjadi faktor penting yang menentukan jalur pengetatan kebijakan moneter The Fed ke depannya.
"Sejauh ini kami memperkirakan inflasi AS akan mereda di 2023 dan sebelum mencapai kondisi tersebut pasar akan terus diwarnai oleh kekhawatiran terkait inflasi yang persisten dan perlambatan ekonomi," ujarnya.
Syuhada mengatakan, akan sulit bagi bank sentral AS untuk menjadi lebih akomodatif sampai ada sinyal tren penurunan harga komoditas.
"Mudah-mudahan kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah dan bank sentral AS dapat menghindarkan ekonomi dari resesi yang berkepanjangan," tuturnya.
Syuhada mengatakan, meningkatnya kekhawatiran resesi Amerika Serikat dan juga perlambatan ekonomi global menjadi faktor dominan yang menyebabkan berlanjutnya aksi jual investor asing.
Hal ini terjadi tidak hanya pada Indonesia, namun juga pada pasar negara berkembang lainnya. Bahkan US Treasury, obligasi pemerintah Amerika Serikat sebagai safe haven asset juga tidak luput dari aksi jual investor.
"Namun, ekspektasi tingkat suku bunga The Fed di akhir tahun yang sudah selaras dengan ekspektasi pasar, dan kepemilikan asing yang sudah relatif rendah diharapkan dapat mengurangi volatilitas, serta aksi jual investor asing di pasar obligasi Indonesia terutama ketika sentimen global sudah membaik," ujarnya.
Syuhada menyebutkan beberapa faktor positif yang mendukung pergerakan pasar obligasi domestik. Di antaranya, kebijakan pemerintah menjaga beberapa harga barang, membuat inflasi tahun 2022 walaupun meningkat tetap terkendali.
Selanjutnya, basis investor yang lebih terdiversifikasi naiknya partisipasi investor domestik dan penurunan kepemilikan investor asing saat ini persentase kepemilikan asing dibawah 16% berkontribusi pada stabilitas pergerakan pasar obligasi domestik.
"Kemenkeu menyatakan bahwa terjadi surplus anggaran pada bulan Mei sebesar Rp 132,2 triliun atau setara dengan 0,74% dari PDB. Kemenkeu juga menurunkan target pembiayaan melalui lelang sebesar Rp 147 triliun. Ini berarti dalam setiap lelang target penerbitan turun dari Rp 20 triliun menjadi Rp 5 triliun," ucapnya.
Syuhada juga melihat, kebijakan BI dalam melakukan pengetatan moneter terutama suku bunga BI akan berperan penting terhadap sentimen investor global terhadap pasar obligasi Indonesia.
Dalam jangka menengah, ia memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun kembali ke kisaran 6,5% – 7%.
Baca Juga: Bunga BI Tetap, Bunga The Fed Diprediksi Naik, Pasar Obligasi RI Bisa Tertekan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News