Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sejak awal tahun, rupiah terdepresiasi 17,79% terhadap dollar Amerika Serikat. Perusahaan pun berbenah. Salah satunya adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), yang melakukan strategi lindung nilai atau hedging minimal senilai US$ 240 juta.
Emiten Grup Salim ini memiliki utang valuta asing senilai US$ 1,2 miliar. Mengacu kurs tengah Bank Indonesia (BI) di posisi Rp 14.654 per dollar AS, maka utang tersebut setara Rp 17,58 triliun.
"Saat ini kami tidak ada yang di-hedge. Nanti di kuartal keempat kami akan melakukan hedging minimal 20% net exposure," kata Direktur INDF Werianty Setiawan, Kamis, (1/10).
INDF akan melakukan hedging karena mengikuti Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank. Di situ, perusahaan wajib memenuhi ketentuan 20% lindung nilai dengan tenggat waktu akhir 2015.
Di tahun depan, ketentuan lindung nilai itu naik menjadi 25%. Meski begitu, INDF juga mempertimbangkan opsi mengonversi utang dollar AS menjadi rupiah. "Kami berhati-hati dengan utang dollar AS," ucap Direktur INDF Franciscus Welirang.
Di semester I 2015, utang bank jangka pendek INDF Rp 5,96 triliun, lalu utang jangka panjang yang jatuh tempo setahun sekitar Rp 2,34 triliun. INDF juga memiliki utang jangka panjang, terdiri dari Rp 12,36 triliun pinjaman bank dan Rp 3,98 triliun utang obligasi.
Analis BNI Securities Ankga Adiwirasta menilai, aksi hedging akan bagus bagi kinerja INDF. Menurut dia, hedging dapat memberikan kepastian terhadap kinerja INDF. Pasalnya, rupiah masih berpotensi melemah di tengah ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed.
Meski begitu, Ankga kurang optimistis terhadap kinerja saham INDF. Perseroan ini memiliki anak usaha di sektor komoditas, seperti PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) yang masih cenderung melemah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News