Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Depresiasi rupiah yang terjadi sepanjang tahun lalu cukup menekan industri farmasi lokal. Maklum, bahan baku industri farmasi lokal sebagian besarnya masih impor.
Sehingga, ketika rupiah melemah, harga bahan bakunya pun terasa lebih mahal. Seperti yang dialami PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF).
Pada periode 2015, INAF membukukan pendapatan Rp 1,62 triliun, naik 23% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara, laba bersihnya juga mengalami kenaikan 6% menjadi Rp 330,05 miliar.
Tapi jika berbicara margin, maka angkanya justru mengalami penurunan meski top line INAF mengalami kenaikan. Periode 2015, gross margin INAF tercatat sekitar 20%. Bandingkan dengan gross margin 2014 yang sebesar 22%. Berbicara margin, selisih 1% saja artinya bisa kehilangan sekian miliar.
"Ini karena adanya kenaikan harga pokok produksi (HPP)," ujar Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan Indofarma kepada KONTAN, (16/3).
Tahun lalu, beban bahan baku INAF tercatat mengalami kenaikan 26% menjadi Rp 181,18 miliar. Selain mengalami kenaikan tertinggi dibanding beban tenaga kerja langsung dan biaya pabrikasi, beban bahan baku juga merupakan komponen terbesar dari HPP INAF. Dari total HPP sebesar Rp 307,59 miliar, sekitar 59%-nya merupakan beban bahan baku.
Secara keseluruhan, beban pokok INAF tahun lalu tercatat Rp 1,29 triliun, naik 22% dibanding periode 2014, Rp 1,07 triliun. Dus, porsi beban pokok terhadap pendapatan pun mengalami kenaikan menjadi 78% dari sebelumnya 77%. Nah, kondisi inilah yang pada akhirnya membuat gross margin INAF tertekan.
Tahun ini, kondisi perekonomian terlihat lebih stabil. Sehingga diharapkan, pergerakan rupiah pun bisa menjadi lebih tenang dibanding periode-periode sebelumnya. Syukur jika rupiah bisa berada dilevel Rp 12.500 per dollar AS. "Karena pada level ini, paparan risiko tak terlalu besar dan daya saing masih terjaga," imbuh Yasser.
INAF memang terbilang cukup sensitif terhadap fluktuasi kurs. Sebab, perseroan juga tidak melakukan hedging mata uang untuk mengatasi hal tersebut. Selama ini, pembelian mata uang asing yang cukup untuk pembelian produk impor sebagai cara mengurangi resiko pelemahan kurs.
Guna memaksimalkan strategi tersebut, manajemen juga berupaya menghilangkan value added activities, yakni dengan mempersingkat waktu yang berkaitan dengan hilir produksi. Efisiensi ini diharapkan mampu mengkatalisasi risiko kurs ke depannya. Pasalnya, meski kondisi saat ini terlihat lebih stabil, namun tidak ada yang bisa memprediksi secara pasti fluktuasi yang akan terjadi.
"Tapi, secara umum prospek tahun ini lebih baik, soal margin yang kami maintain, itu rahasia dapur," pungkas Yasser.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News