Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Para investor reksadana harus mulai mewaspadai kenaikan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pasalnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah menyentuh level psikologis yang ditargetkan tahun ini, sehingga potensi untuk mendapatkan gain jadi menipis.
Direktur Utama BNP Paribas Investment Partners Tino Moorrees menilai, investasi di reksadana saham masih menarik. Sebab, perekonomian Indonesia masih akan bertumbuh lebih tinggi.
Namun, Michael Tjoajadi, Direktur Schroders Investment Management Indonesia, menyarankan investor reksadana saham untuk mengambil keuntungan lebih dulu. Minimal, investor bisa menyisakan modal pokoknya untuk investasi berikutnya. Dengan cara ini, investor bisa memangkas risiko bila sewaktu-waktu harga saham jatuh lagi. "Keputusan akhir tetap di tangan investor, ya," imbuhnya.
Imbal hasil makin tipis
Data PT Infovesta Utama, sebuah lembaga pemeringkat dan riset reksadana, menyebutkan, imbal hasil rata-rata reksadana saham lebih rendah ketimbang kenaikan indeks. Dari awal tahun sampai dengan 21 Juli, rata-rata return reksadana saham mencapai 11,52%. Sementara indeks harga saham telah naik 18,9%.
Edbert Suryajaya, Analis riset Infovesta Utama menjelaskan, tahun ini banyak manajer investasi yang menempatkan dananya di saham-saham berkapitalisasi besar atau blue chips. Sementara harga saham yang naik tajam di bursa justru didominasi oleh saham-saham lapis kedua.
Alhasil, imbal hasil reksadana saham jauh lebih rendah ketimbang kenaikan indeks. Ia bilang, sampai 21 Juli, imbal hasil paling tinggi dihasilkan oleh Panin Dana Maksima yang memberikan return 42,33%.
Sampai akhir tahun, return reksadana saham diperkirakan tidak akan melambung tinggi. Edbert menduga, indeks hanya akan naik maksimal ke 3.150-3.200. Dengan target itu, reksadana saham ia perkirakan hanya memberikan return 5%-8% lagi. Jadi, investor yang baru masuk reksadana saham sulit mendapat return tinggi pada tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News