Reporter: Narita Indrastiti, Marantina, Amailia Putri Hasniawati, Choirunnisak, Arie Febstyo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Kondisi pasar global masih mencemaskan. Selain ancaman resesi Eropa, perekonomian China tahun ini berpotensi melambat. Faktor-faktor inilah yang memicu kejatuhan bursa saham regional, termasuk pasar saham Indonesia, Senin (23/7).
Aksi jual di Bursa Efek Indonesia cukup kencang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Senin, merosot 1,75% ke 4.009,79. Nilai tukar rupiah pun melemah 0,15% menjadi Rp 9.493 per dollar AS.
Pasar obligasi domestik pun tak imun dari koreksi. Imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) seri FR0061 yang bertenor 10 tahun, kemarin, naik menjadi 5,81%. Sehari sebelumnya, yield surat utang itu di 5,75%.
Lantas, bagaimana investor harus bersikap? Christian Hermawan, Direktur Sucorinvest Asset Management, menyarankan, dalam jangka pendek investor perlu mengurangi porsi saham dan mengalihkan ke instrumen lain yang lebih moderat, seperti surat utang dan pasar uang.
Dalam kondisi seperti ini, metode berinvestasi secara bertahap atau dollar cost averaging menjadi salah satu cara paling efektif. Sebab, tak ada yang mampu meramalkan dengan pasti arah pasar. "Yang paling mencemaskan adalah Yunani. Apalagi, kalau krisis ini menjalar ke wilayah lain di Eropa," ujar dia.
Hazrina Dewi, Head of Equity First State Investments Indonesia, menyarankan, untuk jangka pendek, porsi ekuitas harus dikurangi hingga 25% dan mengalihkan sisanya ke obligasi pemerintah. Tapi, investor tak perlu agresif mengurangi porsi saham karena instrumen lainnya belum tentu memberi return tinggi. Toh, di jangka panjang, investor masih bisa menanamkan dana di saham hingga 50%.
Direktur Utama Schroders Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi menilai, koreksi di bursa saham saat ini masih wajar sehingga investor tak perlu panik. “Sebelumnya, kan, saham mengalami kenaikan,” ujar dia.
Michael menyarankan, investor yang berkarakter jangka panjang sebaiknya bertahan di saham. Bagi yang bermain jangka pendek, lebih baik keluar dari saham dan beralih ke obligasi atau reksadana, seperti reksadana pendapatan tetap. Langkah ini bisa dilakukan hingga penyelesaian krisis Eropa menunjukkan kejelasan.
Analis AM Capital Janson Nasrial menilai, pelemahan IHSG sejatinya menjadi kesempatan bagi investor untuk mengoleksi sejumlah saham pilihan.
Tapi, untuk kondisi saat ini, investor sebaiknya memegang cash lebih banyak. "Komposisinya sebesar 40% di saham, 10% obligasi pemerintah, dan sisanya cash," ujar dia.
Jika IHSG merosot ke kisaran 3.900, investor bisa kembali mengakumulasi saham dan obligasi pemerintah dengan komposisi normal. Porsinya, 65% saham, 25% obligasi pemerintah, emas sebesar 5%, dan sisanya berbentuk cash.
Menurut analis, valuasi IHSG masih murah (baca analisis). Jadi, bagi investor berkarakter jangka panjang, tidak ada salahnya masuk ke pasar saham sekarang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News