Reporter: Narita Indrastiti, Wuwun Nafsiah | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) berniat mempermudah pembelian saham perdana atau initial public offering (IPO). Untuk itu, BEI menyiapkan infrastruktur baru yang disebut primary market support system (PMSS).
Dengan sistem ini, proses bookbuilding saham IPO bisa dilakukan secara online. Kelak, sistem ini akan ditunjang sistem online milik broker. Nah, investor yang bukan nasabah agen penjual bisa memiliki akses terhadap saham IPO.
Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI bilang, dengan sistem ini, proses bookbuilding saham IPO bisa secara online. "Sekarang kan masih harus isi formulir dan sebagainya. Dengan sistem ini, investor di manapun bisa beli," kata dia, belum lama ini. BEI masih menggodok aturan itu dan diharapkan berlaku pada tahun depan.
Selama ini, proses bookbuilding saham IPO harus melalui sekuritas. Investor yang ingin saham IPO harus membeli melalui underwriter atau co-underwriter. Selanjutnya, investor melalui tahap penjatahan sebelum memperoleh saham IPO. Tapi proses mendapatkan saham IPO tak selalu mulus. Bahkan sebagian investor tak mendapatkan saham sesuai jumlah pesanannya.
Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang, menilai sistem bookbuilding online terlalu rumit. Pasalnya, selama ini investor yang ingin saham IPO bisa membeli melalui sekuritas yang menjadi underwriter atau co-underwriter. Pembelian ini pun melalui masing-masing sekuritas. Dari sini, banyak sekuritas yang sudah menerapkan sistem online. Sementara sebagian sekuritas lain masih manual. "Kalau nanti online ke BEI skemanya seperti apa, untuk nasabah sekuritas yang bukan underwriter bagaimana?" tanya Edwin.
Pengamat pasar modal, Teguh Hidayat mengatakan, ada dua tantangan bagi investor yang ingin mendapatkan saham IPO. Pertama, sulit mendapat informasi saham. Saat ini, prospektus ringkas perusahaan yang akan IPO disebar melalui surat kabar. Padahal tak semua investor tahu. Apalagi, prospektus di surat kabar ditulis dengan huruf sangat kecil. "Distribusi prospektus tidak merata. Itupun hanya prospektus ringkas, bukan keseluruhan," kata Teguh kepada KONTAN, Jumat (19/12).
Kedua, investor selalu mendapat jatah saham lebih sedikit dari pesanan. Sebab, jumlah investor dan jumlah saham IPO tak sebanding. Saat ini ada sekitar 400.000 investor ritel yang berminat terhadap saham IPO. Jika ada perusahaan yang menjual 2 miliar saham IPO, maka satu investor hanya akan mendapat jatah 5.000 unit saham atau 50 lot. Padahal, kemungkinan investor membeli lebih banyak saham cukup besar. "Karena saham IPO terbatas, banyak investor yang tidak kebagian," lanjut Teguh.
Menurut dia, sistem bookbuilding online BEI patut diapresiasi. Tapi banyak hal lain yang harus diperbaiki. Selain sulit mendapat saham IPO, investor kesulitan memperoleh informasi emiten melalui portal resmi BEI. "Semua sebenarnya ada di website bursa, namun navigasi sulit," ungkap dia.
Direktur Danareksa Sekuritas, Marciano Herman berharap sistem pembelian online bisa memperbaiki proses pembelian saham IPO. Namun, skemanya belum jelas. "Apakah bisa pesan langsung di bursa atau seperti apa belum terbayang," ungkap dia.
Meski sistem dipermudah, BEI juga perlu meminimalkan praktek menyimpang yang kerap terjadi dalam IPO. Misalnya kasus IPO PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang sempat menyeret sejumlah wartawan dan anggota DPR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News