Reporter: Cindy Silviana Sukma, Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga nikel dunia kian membumbung. Di bursa London Metal Exhcange (LME), kemarin, harga nikel bertengger di level US$ 18.270 per metrik ton, naik 31,44% sejak akhir tahun lalu. Tentu saja ini bisa menjadi sentimen positif bagi emiten yang berbisnis nikel.
Sejumlah analis memperkirakan, reli harga nikel masih akan berlanjut hingga menyentuh US$ 22.000 per metrik ton hingga akhir tahun ini. Melambungnya harga nikel dipicu, salah satunya, oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, sejak Januari 2014.
Kekhawatiran bahwa produksi nikel Rusia terganggu akibat sanksi dari Amerika Serikat serta Uni Eropa juga memoles harga komoditas tambang ini. Nah, potensi lonjakan harga nikel ini memberi efek positif bagi sejumlah emiten tambang, terutama PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Fajar Indra, analis Panin Sekuritas, bahkan memprediksi, laba bersih INCO pada tahun ini berpeluang tumbuh lebih dari 100%.
"Potensi laba bersih INCO pada 2014 bertumbuh di atas 100% karena kenaikan harga jual nikel serta efisiensi biaya melalui program konversi batubara," jelas Fajar dalam risetnya. Dengan asumsi harga rata-rata nikel selama tahun 2014 mencapai US$ 17.150 per ton, maka harga jual rata-rata INCO pada periode yang sama bisa mencapai US$ 12.483 per ton, atau tumbuh 4,6% year on year (yoy).
Kinerja INCO, lanjut Fajar, juga mendapat topangan dari konversi batubara untuk rotary dryers. Secara konservatif, ia memperkirakan, laba bersih INCO pada tahun ini bisa tumbuh 166% menjadi US$ 90 juta. Sekadar mengingatkan, pada kuartal I–2014, INCO mencetak pendapatan bersih US$ 213,11 juta, turun 17,53%. Sementara, laba bersih INCO terpangkas 43% menjadi US$ 17,96 juta.
Penurunan pendapatan juga dialami ANTM. Penjualan ANTM di kuartal I–2014 turun 34% menjadi Rp 2,22 triliun. Memang, jika dibandingkan, harga rata-rata nikel di kuartal I–2013 masih lebih tinggi dari kuartal I–2014. Di kuartal I–2013, harga rata-rata nikel sebesar US$ 17.376,27 per metrik ton, lebih tinggi 25,39% ketimbang periode yang sama tahun ini sebesar US$ 14.702 per metrik ton.
Produksi bijih nikel ANTM di tiga bulan pertama 2014 pun turun 95% menjadi 178.459 wet metric tons (wmt), seiring pelarangan ekspor bijih mentah. Arandi Nugraha, analis Batavia Prosperindo Sekuritas, mengatakan, sepanjang 2013 lalu, nilai penjualan bijih nikel telah berkontribusi sebesar 35,9% terhadap total pendapatan ANTM. Sementara, feronikel telah menyumbang 18,3% ke pendapatan ANTM.
Namun, Arandi optimistis, adanya kenaikan harga nikel di tahun ini bakal mendongkrak penjualan ANTM. "Dengan kenaikan harga nikel, dapat meningkatkan proyeksi pertumbuhan kinerja ANTM, terutama untuk gross profit," ujarnya.
Hanya, Arandi memprediksi, ada potensi penurunan pendapatan ANTM sekitar 12,7%–13% di tahun ini, akibat kenaikan beban produksi. ANTM kini sedang memperbesar kapasitas produksi smelter feronikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Yakni, dari 18.000 TNi menjadi 20.000 TNi pada 2015 mendatang.
Arandi merekomendasikan hold saham ANTM dengan target harga Rp 1.700 per saham. Adapun, Fajar menyarankan buy saham INCO dengan target harga Rp 4.000 per saham. Pada penutupan perdagangan, kemarin, harga saham ANTM tumbuh 2,16% ke posisi Rp 1.180 per saham. Sedangkan harga INCO menguat 2,08% ke level Rp 3.675 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News