Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak turun di awal pekan ini setelah pekan lalu melesat lebih dari 8%. Investor fokus pada kekhawatiran permintaan jangka pendek menjelang data inflasi utama Amerika Serikat (AS).
Senin (13/2) pukul 19.03 WIB, harga minyak WTI kontrak Maret 2023 di Nymex turun 0,26% ke US$ 79,51 per barel dari posisi akhir pekan lalu US$ 79,72 per barel.
Sedangkan harga minyak Brent kontrak April 2023 di ICE Futures melemah 0,27% ke US$ 86,16 per barel dari akhir pekan lalu US$ 86,39 per barel.
"Harga minyak mentah melemah karena trader energi mengantisipasi prospek permintaan minyak mentah yang berpotensi melemah akibat laporan inflasi penting dapat memaksa Fed untuk memperketat kebijakan jauh lebih agresif," kata Edward Moya, analis senior di OANDA kepada Reuters. AS akan merilis data harga konsumen AS pada Selasa, 14 Februari.
Baca Juga: Badan Pangan Nasional Catat Harga 9 Komoditas Pangan di Atas Harga Eceran Tertinggi
Federal Reserve AS telah menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Kenaikan suku bunga yang agresif sepanjang tahun lalu menimbulkan kekhawatiran bahwa langkah tersebut akan memperlambat aktivitas ekonomi dan permintaan minyak.
Selain itu, kekhawatiran pasokan agak berkurang dengan dimulainya kembali ekspor minyak Azerbaijan dari terminal Ceyhan Turki pada hari Minggu. Terminal ini rusak akibat gempa dahsyat yang melanda Turki dan Suriah pekan lalu. Terminal Ceyhan adalah tempat penyimpanan dan pemuatan pipa yang membawa minyak dari Azerbaijan dan Irak.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Koreksi di Pagi Ini (13/2), Simak Sentimennya
Harga minyak naik pada hari Jumat setelah Rusia, produsen minyak terbesar ketiga di dunia, mengatakan akan memangkas produksi minyak mentah pada bulan Maret sebesar 500.000 barel per hari (bpd), atau sekitar 5% dari produksi. Langkah ini sebagai pembalasan terhadap pembatasan barat yang dikenakan pada ekspor Rusia dalam menanggapi konflik Ukraina.
Kontrak Brent dan WTI naik lebih dari 8% minggu lalu, didukung oleh optimisme atas pemulihan permintaan di China setelah pembatasan COVID dihapuskan pada bulan Desember.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News