Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pertempuran di Jalur Gaza masih berkecamuk. Namun harga minyak yang sempat melejit ke harga US$ 50,47 per barel akibat konflik di kawasan itu, sudah kembali turun.
Pada Jumat (9/1), harga kontrak minyak mentah pengiriman Februari di New York Mercantile Exchange (NYMEX) kembali surut menjadi US$ 40,83 per barel, turun 5,6% dari harga hari sebelumnya. Kalau ditotal, sepanjang pekan lalu, harga minyak merosot 12%, setelah sebelumnya menanjak 23%.
Harga minyak langsung turun begitu Amerika Serikat (AS) mengumumkan angka pengangguran yang naik menjadi 7,2% dan mengukir rekor tertinggi dalam 15 tahun.
Manajer Pemasaran CIC Futures Herry Setyawan berpendapat, tren bearish minyak masih kuat. Sebab, dunia mengalami kelebihan pasokan minyak dengan melambatnya permintaan akibat krisis.
Tahun lalu analis meramalkan, permintaan minyak dari negara-negara BRIC (Inggris, Rusia, India, dan China) bakal menutup turunnya permintaan AS, Eropa, dan Jepang. Nyatanya, Rusia kini terancam resesi, karena anjloknya harga minyak. Sementara ekonomi negara BRIC lainnya terpukul turunnya ekspor.
Di pasar berjangka (future), tanda bearish minyak kian terasa. Kini, harga future minyak lebih rendah ketimbang harga spot. "Artinya, permintaan beli di pasar future rendah. Orang malah cenderung hedging pada posisi jual," jelas Herry. Ia memprediksi, pada jangka menengah harga minyak bergerak antara US$ 35 hingga US$ 50 sebarel.
Emas merangkak naik
Sebaliknya, harga emas perlahan mulai merangkak. Pada perdagangan di pasar New York kemarin (9/1), emas berada di harga US$ 855,80 per troy ounce. Ini naik 1,7% dari harga terendah bulan Januari yang sebesar US$ 840,80 per troy ounce (7/1).
Pemicu kenaikan emas ini karena berapa faktor. Pertama, pasar menunggu gebrakan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Barack Obama soal pemulihan ekonomi. "Ini membuat harga emas fluktuatif," tutur Leo Hadi Loe, Country Representative World Gold Council (WGC).
Kedua, rencana The Fed memangkas bunga di Januari ini. Ciutnya bunga investasi ini mendorong investor melirik emas. "Apalagi risiko emas semakin tidak ada," ujar Leo.
Ketiga, memanasnya suhu politik di Gaza dan juga Timur Tengah menyulut ketidakpastian ekonomi. Di tengah situasi itu, emas adalah instrumen yang paling dicari. "Kalau perang terus berlanjut, emas bisa di atas US$ 1.000 per troy ounce," prediksi Ibrahim, Analis PT Asia Kapitalindo Komoditi Berjangka.
Keempat, nilai tukar dolar AS melemah terhadap mata uang negara lain. Investor akan berpaling ke emas apabila dolar tak bisa diandalkan.
Dus, Leo memprediksi, harga emas akan berada di kisaran US$ 840-US$ 875 per troy ounce dalam dua pekan ke depan. Jika ekonomi dunia memburuk, Leo memperkirakan harga emas akan menuju US$ 900-US$ 1.100 per troy ounce.
Namun, apabila gebrakan Obama sukses meredam krisis, harga emas bisa melorot ke kisaran US$ 400-US$ 600 per troy ounce.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News