Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak ditutup melemah pada akhir pekan dan menghapus kenaikan yang didapat pada sesi sebelumnya. Tekanan bagi harga minyak di akhir pekan ini terjadi setelah pasar kekhawatiran bahwa Federal Reserve akan mempercepat rencana untuk meningkatkan suku bunga guna menjinakkan inflasi.
Jumat (12/11), harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2021 ditutup turun 0,8% ke US$ 82,17 per barel.
Serupa, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Desember 2021 ditutup melemah 1% menjadi US$ 80,79 per barel.
Kedua harga tolok ukur minyak ini melemah untuk minggu ketiga secara berturut-turut. Pada basis mingguan, Brent turun 0,7%, sementara WTI koreksi 0,6%.
Sentimen yang memukul minyak datang usai dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan spekulasi bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden mungkin melepaskan minyak dari Cadangan Minyak Strategis AS guna mendinginkan harga saat ini.
Baca Juga: Terseret penguatan dolar AS, harga minyak berada di jalur pelemahan pada pekan ini
"Pekan ini telah menjadi pengingat yang baik bagi pasar minyak bahwa harga tidak hanya dipengaruhi oleh penawaran-permintaan saja, tetapi juga dari perkiraan kebijakan moneter dan adanya bentuk intervensi pemerintah," kata Louise Dickson, Senior Oil Markets Analyst Rystad Energy.
"Suku bunga yang lebih tinggi akan memberikan dukungan lebih lanjut terhadap dolar dan bahkan lebih banyak tekanan ke bawah pada harga minyak," tambah Dickson.
Sebelumnya, Menteri Energi AS Jennifer Granholm mengatakan, Biden dapat bertindak, paling cepat di minggu ini, untuk mengatasi kenaikan harga bensin.
"Kami percaya bahwa apa pun pengumuman itu hanya akan berdampak jangka pendek pada harga, tetapi karena ketidakpastian pasar, maka harga minyak sedikit mundur," kata Phil Flynn, Senior Analyst Price Futures Group.
Perusahaan energi di AS pada minggu ini menambahkan rig minyak dan gas alam untuk minggu ketiga berturut-turut. Jumlah rig minyak dan gas, indikator awal produksi masa depan, naik enam menjadi 556 dalam seminggu hingga 12 November. Berdasarkan data Baker Hughes Co, itu merupakan level tertinggi sejak April 2020.
Sementara itu, Rosneft Rusia, perusahaan minyak terbesar kedua di dunia berdasarkan produksi setelah Saudi Aramco, memperingatkan tentang potensi "siklus super" di pasar energi global, meningkatkan prospek harga yang lebih tinggi karena permintaan melebihi pasokan.
Namun, meskipun ada tanda-tanda positif di sisi permintaan, dengan perjalanan udara meningkat dengan cepat, kebijakan moneter dan fiskal yang lebih ketat dan musim dingin di belahan bumi utara akan bertindak sebagai peredam.
Baca Juga: Terdorong krisis energi, ICP Oktober 2021 capai US$ 81,80 per barel
Di sisi lain, pada Kamis (11/11), OPEC memangkas perkiraan permintaan minyak dunia untuk kuartal keempat sebesar 330.000 barel per hari (bph) dari perkiraan bulan lalu. Ini terjadi karena harga energi yang tinggi menghambat pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.
OPEC, Rusia dan sekutu, bersama-sama dikenal sebagai OPEC+, sepakat di pekan lalu untuk tetap berpegang pada rencana untuk menambah 400.000 barel per hari ke pasar setiap bulan.
"Pasar minyak berjalan dalam tidur menuju surplus pasokan," kata Stephen Brennock dari pialang minyak PVM.
"OPEC dan sekutunya setidaknya perlu menghentikan pelonggaran pembatasan pasokan mereka di tahun baru. Kelambanan akan mengakibatkan stok minyak global membengkak sekali lagi," pungkas Brennock.
Selanjutnya: Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dianggap tanggung, ini penjelasan KCIC
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News