Reporter: Namira Daufina, Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sepanjang Agustus 2016, performa mayoritas komoditas logam industri melempem. Padahal sejak awal tahun, harga masih oke. Tekanan harga datang dari penguatan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) serta lemahnya permintaan komoditas di pasar global.
Berikut ini, review pergerakan harga komoditas logam industri dari awal tahun hingga bulan Agustus 2016:
- Nikel
Mengutip Bloomberg, harga nikel pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) pada Jumat (2/9) senilai US$ 10.060 per metrik ton. Tren pergerakan harga nikel positif dengan mencetak kenaikan sebesar 10,7% sepanjang delapan bulan pertama tahun ini dan bertengger di US$ 9.765 per metrik ton pada 31 Agustus 2016.
Andri Hardianto, Analis Asia Tradepoint Futures, menjelaskan, tren penguatan harga nikel disebabkan kebijakan ketat dari Pemerintah Filipina terhadap industri tambang. Filipina mengaudit dan menutup tambang bijih nikel yang tidak memenuhi standar lingkungan.
"Saat ini Filipina menggantikan Indonesia sebagai pemasok bijih nikel terbesar ke China," paparnya, akhir pekan lalu. Harga nikel yang sempat tergerus 3,7% di kuartal I kembali melaju hingga 11,2% pada kuartal II.
Pada kuartal pertama, nikel masih terbebani oleh kenaikan suku bunga The Fed. Gejolak ekonomi global terutama di Eropa dan Tiongkok menambah beban nikel. Akibatnya, harga menyentuh level terendah sejak tahun 2003 senilai US$ 7.595 per metrik ton pada 11 Februari 2016.
Seiring membaiknya ekonomi di berbagai negara serta meredupnya spekulasi kenaikan suku bunga The Fed, nikel kembali bangkit. Di saat yang sama, muncul kekhawatiran berkurangnya pasokan akibat kebijakan Filipina.
Harga nikel pun melambung hingga ke US$ 10.860 per metrik ton pada 10 Agustus lalu, atau level tertinggi sejak Agustus 2015. Tetapi, pergerakan harga nikel sepanjang bulan Agustus justru tergerus 8,4%. Ekonomi China yang belum stabil masih menimbulkan kekhawatiran.
Di sisi lain, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed menguatkan dollar AS. Sementara kekhawatiran supply mulai mereda setelah Indonesia meningkatkan ekspor feronikel ke Tiongkok. Pergerakan harga nikel menurut Andri, akan dipengaruhi oleh tarik menarik antara produksi Filipina dan Indonesia.
Jika Filipina terus menutup tambang bijih nikel, maka peluang kenaikan harga nikel akan semakin besar. Spekulasi kenaikan suku bunga The Fed kemungkinan tidak akan berdampak besar mengingat kondisi fundamental yakni dari sisi supply dan demand menjadi isu utama nikel saat ini.
Andri optimistis, harga nikel akan menguat di US$ 12.000-US$ 12.500 hingga akhir tahun.
- Timah
Pada Jumat (2/9), harga timah pengiriman tiga bulan di LME senilai US$ 19.325 per metrik ton. Ini merupakan level harga tertinggi sejak Januari 2015. Sepanjang Agustus 2016, harga timah melesat 5,74%. Dibandingkan akhir tahun 2015, kenaikannya cukup fantastis, yakni 32,77%.
Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Asia Tradepoint Futures menerangkan, fundamental timah tergolong positif jika dibandingkan komoditas logam industri lainnya.
Hingga akhir Juni 2016, stok timah di LME turun ke level 6.045 ton dibanding puncaknya tahun 2016 ini di 7.370 ton. Sementara pengiriman timah Indonesia Mei 2016 turun 14% menjadi 5.378 ton dibanding Mei 2015.
"Kalau terjadi kekurangan pasokan maka positif bagi harga apalagi manufaktur China Agustus 2016 juga tumbuh," ujar Deddy.
Jabin Sufianto, Presiden Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) menduga, ekspor timah Indonesia hingga akhir tahun 2016 hanya 66.000 ton. Padahal Indonesia merupakan penyokong pasokan terbesar timah global. Dengan pertimbangan fundamental yang positif ini, katalis kenaikan suku bunga The Fed bisa diredam oleh timah.
"Dampaknya tetap ada, kalau suku bunga naik bisa saja harga koreksi ke US$ 18.000 per metrik ton," perkiraan Deddy.
Namun jika sebaliknya, bukan tidak mungkin harga melambung ke US$ 22.000- US$ 25.000 per metrik ton hingga akhir tahun ini. Tahun ini, harga timah sempat menyentuh level terendahnya sejak Agustus 2009 senilai US$ 13.300 per metrik ton pada 15 Januari 2016.
- Tembaga
Pada Jumat (2/9), harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di LME senilai US$ 4.627 per metrik ton. Sepanjang Agustus 2016, harga sudah tergerus 6,25%. Sedangkan sejak akhir tahun 2015, harga terkikis 1,65%. Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures, menjelaskan tekanan harga tembaga terjadi karena tingginya pasokan.
Stok tembaga di LME naik 3,8% menjadi 304.775 ton hingga awal September 2016 dibandingkan awal bulan sebelumnya. Tidak hanya di LME, stok tembaga di Korea Selatan naik 14% menjadi 119.975 ton atau level tertinggi sejak Juli 2011.
"Efeknya bearish bagi harga," ungkap Wahyu. Ini mengindikasikan permintaan terhadap tembaga masih merosot secara global. Padahal di tengah bulan, Gubernur The Fed Janet Yellen mengindikasikan adanya peluang kenaikan suku bunga dalam waktu dekat. Tentu ini buruk bagi harga komoditas termasuk tembaga.
Sedangkan sejak awal tahun, pergerakan tembaga terhitung negatif. Pada 15 Januari 2016, harga sempat terlempar ke titik terendah sejak April 2009 di US$ 4.331 per metrik ton. "Akibat tingginya euforia pasca kenaikan suku bunga The Fed akhir 2015 dan ekspektasi kenaikan 3-4 kali tahun ini," tutur Wahyu.
Namun pada 17 Maret 2016, harga melambung ke level US$ 5.069 per metrik ton atau level tertinggi sejak November 2015. Itu terjadi saat impor China mencapai rekor. Wahyu melihat, pergerakan harga ke depan ditentukan pada September ini.
Jika The Fed menaikkan suku bunga pada pertemuan FOMC September 2016, harga bisa kembali ke US$ 4.400 per metrik ton. Jika sebaliknya, kans harga ke US$ 5.000 per metrik ton terbuka.
- Aluminium
Harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di LME pada Jumat (2/9) senilai US$ 1.594 per metrik ton.
Sepanjang Agustus 2016, harga sudah tergores 1,82%. Namun sejak akhir tahun 2015, harga melambung 5,77%.
Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka, menjelaskan, secara fundamental harga aluminium cukup tertekan. Alcoa Inc, salah satu produsen aluminium terbesar mengumumkan pasokan akan naik 2,5% atau lebih tinggi dari prediksi sebelumnya di awal tahun sekitar 2%. Hal tersebut terkait dugaan defisit pasokan tahun ini yang tadinya diduga 1,1 juta ton menyusut menjadi 775.000 ton.
"Saat pasokan diperkirakan menumpuk, datang sentimen penguatan USD pasca naiknya optimisme kenaikan suku bunga Fed," tambah Ibrahim.
Ini semakin menghimpit pergerakan aluminium. Meski demikian Ibrahim menduga, penurunan harga aluminium di September 2016 atau hingga akhir tahun 2016 nanti tidak akan kembali ke level terendahnya yang tersentuh pada 12 Januari 2016 di US$ 1.450 per metrik ton.
Prospek ekonomi AS memegang peranan penting dalam arah pergerakan harga ke depan. Jika kenaikan suku bunga terjadi di September 2016, harga timah bisa turun mendekati level US$ 1.500 per metrik ton.
Jika sebaliknya, harga bisa naik ke US$ 1.900 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News