Reporter: Amailia Putri Hasniawati, Wahyu Satriani |
JAKARTA. Manajer Investasi (MI) harus bersiap menghadapi pemberlakuan aturan perhitungan harga pasar wajar obligasi. Aturan itu bisa mengubah Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana terutama yang beraset dasar surat utang, seperti reksadana fixed income, reksadana terproteksi, dan reksadana campuran.
Hasan Fawzi, Direktur Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) atau Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), menuturkan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah menunjuk PHEI untuk menilai harga wajar efek obligasi. "Akan ada perubahan mekanisme perhitungan yang akan diatur dalam peraturan Bapepam-LK IV.C.2.," ungkap Hasan, Rabu (16/11).
Revisi aturan IV.C.2 tentang Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam Portofolio Reksadana tersebut sudah sampai pada tahap draf akhir. Kelak, jika acuan harga yang disusun PHEI sudah berlaku, maka MI akan menggunakan harga obligasi pemerintah dan obligasi korporasi yang sama.
Penyeragaman harga ini bisa mempengaruhi NAB reksadana beraset dasar obligasi. Ini karena ada perbedaan metode hitungan. Hasan bilang, perbedaan harga obligasi akan sangat kentara pada obligasi korporasi. Sedangkan obligasi negara sudah lebih standar sejauh ini.
MI akan diberikan waktu untuk menyesuaikan. Jika perubahannya besar, waktu penyesuaiannya juga lebih panjang. "Waktu penyesuaian yang diberikan antara tiga hingga enam bulan," jelas dia. Penerapan penyeragaman harga efek ini kemungkinan akan mulai berjalan awal tahun depan.
Selama ini, penghitungan harga wajar obligasi ditentukan oleh para pelaku industri sendiri. Sehingga, harga satu obligasi akan berbeda berdasarkan perhitungan masing-masing MI.
MI tidak khawatir
Edbert Suryajaya, analis Infovesta Utama, menilai, cara baru penghitungan harga wajar efek pasti mempengaruhi NAB. Namun, sejauh mana pengaruh pemberlakuan aturan baru, Edbert belum bisa menghitung persis. Saat ini, sejatinya MI sudah memiliki harga acuan mengacu pada hasil referensi Kustodian Sentral Efek Indonesia.
Edward P Lubis, Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management, menuturkan, Bahana kemungkinan besar tidak akan terlalu terpengaruh dengan mekanisme baru penghitungan harga wajar efek tersebut.
Pasalnya, reksadana terbitan Bahana yang beraset dasar obligasi sejauh ini, mayoritas memanfaatkan underlying berupa Surat Utang Negara (SUN). Sedangkan reksadana terproteksi Bahana, juga kemungkinan kecil terimbas kendati memiliki aset dasar obligasi korporasi. Ini karena obligasi korporasi yang menjadi aset dasar tersebut kebanyakan dipegang Bahana hingga jatuh tempo.
Saat ini, nilai dana kelolaan reksadana Bahana yang beraset dasar obligasi mencapai Rp 9 triliun, dari total dana kelolaan sebesar Rp 11 triliun. "Untuk obligasi korporasi kami telah membuang yang tidak likuid sejak tahun 2006," kata Edward.
Sugeng Sugiharto, Direktur Mega Capital Investama, mengaku tidak khawatir dengan mekanisme baru tersebut bakal mempengaruhi bisnis mereka.
Pasalnya, sampai saat ini nilai dana kelolaan reksadana beraset dasar obligasi Mega Capital hanya Rp 100 miliar, dari total dana kelolaan sebesar Rp 1 triliun. "Itupun 75% SUN, sisanya baru korporasi," kata Sugeng. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News